Orang-orang itu, mereka pikir aku gila. Padahal di waktu yang sama ini, istriku Agnes sedang pula mendekap rasa hebat, kekhawatirannya padaku.
Eman:
“Pastinya mereka pikir aku gila. Aku kurang kerjaan, menghabisi waktu seharian untuk sesuatu yang lucu, yang sia-sia. Aksi berjalanku sepanjang Sagu-Waiwerang ini tidak lazim untuk kebanyakan orang, apalagi di zaman ini yang segala sesuatunya serba mesin, tentu akan melahirkan tawa-tawa keras, semringa senyum yang pasti bukan memuji. Aku akan memulainya dari sini. Di Sagu ini akan menjadi langkah awal untuk kuteruskan menuju Waiwerang. Mungkin mereka pikir aku gila dengan usaha-usaha gilaku, dengan perilaku paling gila dari gila se-Adonara.
Kudengar mereka bilang aku sakit jiwa. Betul aku ini lagi gila. Dan aku sedang tergila-gila oleh ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Aku mungkin gila tapi aku tergila pada masalah bukan pada pesona. Biar dikatakan gila, sedang tidak waras, orang stres atau apalah yang bertalian dengan kondisiku. Toh, aku sendiri tidak gila, aku waras, namun betul aku ini orang stres. Stres dengan kenyataan yang katanya: agar teratur kita harus tunduk diatur oleh pemimpin. Tapi ketidakteraturan tetap ada di mana-mana.
Aku sudah setengah menempuh dalam aksi berjalanku, sudah banyak air mata dan keringat. Tapi sungguh tak sedikit pun aku merasa lapar dan haus. Mungkin belum. Aku pun mengumandangkan lagu, sudah panjang lebar kuberkata-katai, teriak caci maki, tapi anehnya, tenggorokanku selalu basah tak pernah kering. Aku sudah puluhan kali membungkuk, jari-jariku yang mengais pada permukaan-permukaan kasar hingga sebagian ujungnya terluka, tapi aku tak merasa sakit, tulang belakangku pun masih sanggup dan siap untuk membungkuk lagi. Rasa-rasanya aku masih punya seribu energi untuk terus berjalan berkilo-kilo.
Tentu mereka pikir aku gila ketika sedang menempuh sepanjang Sagu-Waiwerang. Menyusuri jalan provinsi ini sambil menangisi aspal yang terkelupas, jalan-jalan rusak yang saban hari di beberapa kampung pernah kulihat anak-anak kecil, remaja dan sebagian anak muda bersusah payah atas inisiatif sendiri menambal lubang-lubang itu meskipun pada akhirnya meminta juga imbalan untuk jasanya.
Mungkin aku gila, tapi aku tidak segila yang kamu pikirkan, yang kamu imajinasikan. Mengenai hidup aku punya sudut pandang lain dengan kamu sekalian, bersebelahan dengan anggapan-anggapan umum yang kaku. Lantas, apa lagi, ini semata hanyalah sebuah sikap, sebuah pilihan yang murni dari hati. Bagiku hal utama yang diperlukan seorang lelaki adalah sebuah sikap, bagaimana ia bersikap menyikapi. Tapi sudah tentu perihal ini yang kemudian membentuk predikatku gila di benak mereka.
Mereka terus bertanya siapa aku, dari mana aku. Mungkin karena ketidakpopuleran diriku dalam hidup sosial, maka tidak banyak yang mengenalku. Siapa aku tentunya sebuah penelusuran yang cukup rumit. Aku hanyalah seorang yang kehadiranya di dunia tak direncanakan, tak diinginkan. Akulah sampah yang dikandung dalam rahim, lantaran benih yang dianggap celaka itu terlanjur menjadi. Ibuku dipandang obyek belaka dari nafsu yang menggebu-gebu dan aku, aku dianggap aib sebab kehadiranku dilatari sebuah celaka hubungan gelap atau tindakan salah dari seorang lelaki. Ya, sudahlah, usiaku pun sudah mendekati empat puluh dua, tidak pantas lagi untuk menyesali apalagi mengutuk sebuah kelahiran.
Aku dibesarkan sendiri oleh Ibu di kota kecil ini, Waiwerang. Kesusahan hidup telah akrab kujumpai di kota dan tanah ini. Aku dipanggil Emanuel dan tentu beralasan kusandang nama ini. Kata Ibu, menjadi suatu berkah karena lahirku pada tanggal 25 Desember, tepat diperingati kelahiran Jesus Kristus. Seharusnya Ibu memanggilku Jesus, sekali protesku diwaktu kecil.
Sebelum nasib bertukar, aku berprofesi sebagai staf tata usaha sebuah sekolah menengah pertama, dengan modal gelar Diploma. Sayangnya, usia profesiku seumuran jagung. Akibat sebuah kejujuranku yang salah dimaknai bahkan mungkin tidak disukai. Aku baru diberhentikan dua minggu yang lalu. Atasan yang tidak sudi menerima kritik itu kenyataanya punya mental kurang baik. Seminggu tanpa aktivitas, aku lalu memilih berwirausaha, sebagai tameng untuk pertahankan hidup. Dan bagiku, berdikari lebih menghibur daripada mengabdi tapi dikebiri. Usaha yang baru jalan beberapa hari ini menuntut aku untuk harus keluar masuk kampung di wilayah Adonara Timur, menawarkan aneka jualanku. Aku berdagang, daganganku sarung.
Pagi-pagi aku sudah meluncur dengan sepeda motorku. Mengemudi di atas jalan dengan aspal yang terkelupas, lubang-lubang dalam, kesemerawutan pada aktivitas pagi yang sibuk dan kelenggangan pada siang hari yang sumpek karena panas terik. Kerusakan jalan yang menjengkelkan itu hampir penuh terbentang sepanjang Sagu-Waiwerang. Dan dari situlah ketidaksukaanku pada kondisi jalan trans ini menggila. Kenyataan ini aku pikir mesti dicoba dengan sesuatu, semacam sebuah sikap.
Orang-orang itu, mereka pikir aku gila. Padahal di waktu yang sama ini, istriku Agnes sedang pula mendekap rasa hebat, kekhawatirannya padaku. Hanya dia yang tahu niatku dan bunyi pesanku subuh tadi sebelum berangkat memulai aksi: Nes, simpan kecemasanmu dalam hati, sampaikan pada anak-anak soal ini biar mereka tahu, supaya mereka tak malu. Mereka harus tahu alasan ini, alasan sampai aku bertindak. Aku pamit Nes. Aku harus buru-buru karena butuh tumpangan. Truk-truk itu pasti sedang bongkar muatan dan sedikit lagi bergegas pulang. Nes, kau harus yakin bahwa dalam perjalanan aku baik-baik saja. Doakan aku”!
Abdulah:
“Semua sangat heran memandang, saling tanya satu sama lain sambil menunjuk ke arah pria separuh baya itu. Siang pukul tiga belas, ia sampai di sini, di tengah hari dengan terik menyengat. Pria itu tanpa arah dan tujuan, sepertinya ia lantas menempuh jalan Sagu-Waiwerang. Dan di siang pukul tiga belas ini, di jalur sepanjang Desa Nisakarang Dua, kira-kira apa yang mau dia lakukan?
Orang-orang saling tanya dari mana asal pria ini. Siapa gerangan ia sebenarnya? Ada yang memecah otak dengan telusuri silsilah keluarga atau kerabat-kerabat dekatnya yang mungkin saja dikenal luas. Pendapat lain mengatakan pria ini baru saja gila karena baru terlihat. Ada yang coba mereka-reka dengan kalimat: dalam keluarga pria ini pasti sedang tidak beres—hilang keseimbangan—tidak lagi harmonis antara yang fisik dan metafisik.
Demikianlah, ia membungkuk di situ, di atas badan jalan berbalut aspal yang terkelupas lebar dengan lubang-lubang dalam. Seperti bersujud ia meratapi lubang-lubang jalan itu seolah sedang dalam upacara khusyuk menyerahi ujud ke Sang Khalik. Dalam aksinya berseling, ia mendendang sebuah lagu sedih yang tak asing sambil jari kanannya mengais-ngais lubang, tangan kirinya yang terulur terus ke langit, seperti tengah menyenandung dan mengidung harapan pada tanah airnya ini, Adonara. Pria itu menjerit dengan suara pelan, ada pula kudengar, tersendat-sendat keluar mungkin isak yang tak disengaja. Ah, rupanya ia menangis. Betul, ia sedang menangis.
Semua jadi heran memandang. Sedang kami yang berkendara sudah bermenit-menit terhenti di sini, mengamati dengan gusar pria gila ini. Seorang Bapak bertanya perihal pria itu padaku dan aku hanya menggeleng tak tahu. Anak remaja di sebelahku mengatakan ia sudah melihat pria itu sepanjang pagi, melintasi jalan trans ini dan lakukan hal yang sama pada setiap permukaan jalan yang berlubang. Ia akan membungkuk, meratap sambil mengucap kalimat-kalimat puitis layaknya seorang penyair yang tengah membaca syair kehidupan, mendalami setiap larik syairnya dengan cipta daya evokatif. Dan terkadang ia ganti dengan beryanyi sambil teriak-teriaki pemerintah dengan nada-nada kasar yang lantang. Mungkin akan ia lanjut perjalanan ini hingga ke Waiwerang.
Matahari panas—lalulalang kendaraan—jalanan ramai. Pria separuh baya itu masih membungkuk dan seperti membenarkan kata si remaja tadi, ia dengan serta merta laksanakan ritual yang sama. Membungkuk, meratap, bernyanyi dan teriak-teriak.
Beberapa kendaraan membunyikan klakson. Mereka bergerak maju menyusuri tepi jalan menghindari pria gila itu. Remaja pengurai cerita tadi minta pamit padaku dan berlalu mengikuti kendaraan lain. Orang-orang desa yang berpikir bahwa beginilah kelakuan orang gila, pun berbalik satu-persatu pergi melanjutkan aktivitas berkebun. Beberapa pemuda di desa itu memanggil-manggil pria itu dengan ‘Opu’ dan berusaha mengajaknya bicara. Mereka menawarinya rokok. Dari belakang ada yang menertawai gaya bicaranya, menertawai juga pendapat-pendapat konyol yang dilontarkannya. Mereka menakut-nakutinya dengan mengatakan ia akan dilaporkan ke polisi, ditahan lalu disiksa dengan kejam dalam sel penjara. Tapi mereka hanya sebatas menjadikan itu lucu lantaran berpikir ia seorang gila.
Pemuda yang kukenal, memanggil dan menghampiriku. Kami saling sapa dan bercerita. Kemudian, ia persilakan untuk lanjutkan saja jalanku—tak usah khawatir dengan si gila itu. Ia tidak membahayakan siapa pun, katanya. Namun aku mengatakan masih ingin sekali mengamati ini dan mau tahu selanjutnya apa yang diperbuat si gila.
Langit tampak bersih. Putih kecil awan tipis menggantung sebentar saja kemudian berubah bentuk hingga akhirnya lenyap. Sinar matahari tanpa halangan, jatuh utuh menyengat tanah Adonara. Pria paruh baya itu berganti posisi dengan duduk bersila. Ia menjulurkan kepalanya ke belakang menyaksikan sejenak suasana sekitar. Dari situlah aku menatap wajahnya dengan jelas. Aku yang berada dua meter darinya, tanpa canggung langsung mengamati raut yang sudah bertindak dan menjadi gila itu. Kusimak terus wajahnya.
Dan mungkin aku telah sampai pada jawaban. Pria paruh baya itu mungkin berlatar pendemo atau aktivis, ataukah ia memang paradoks. Karena ia kelihatan tak sedang berbasa-basi. Ia tidak berbohong untuk segala tindakannya. Ia tak sedang menciptakan sensasi untuk mencari pujian. Barangkali ia melakukan itu sebagai satu simpulan bahwa ia mesti harus berbuat demikian agar memperoleh perubahan dan tercipta sebuah tatanan yang semestinya.
Aku pun berpikir bahwa besar kemungkinan ia tidak gila, sebab segala kalimat yang terlontar dari mulutnya adalah sebuah kebenaran yang mesti diakui benar. Semua orang di sini, di Adonara, mungkin sadar dan merasa ada yang salah dengan kenyataan. Tapi hanya sedikit orang yang mau bertindak untuk mengungkapi kenyataan itu dengan penjelasan-penjelasan. Ya, tentu pada mulanya pasti akan sulit diterima bahkan sebagian bereaksi untuk menolaknya dengan total. Dan pria paruh baya itu sedang dengan berani melakukan penjelasan-penjelasan sedemikian rumitnya, dengan caranya sendiri yang membingungkan hingga akhirnya ia harus rela menanggung predikat sebagai orang gila. Jika diteliti, ia tidak menunjukan ciri-ciri sebagaimana orang-orang gila yang kukenal. Wajah dan tatapan matanya mengatakan itu.
Pengendara-pengendara membunyikan klakson. Dari dalam mobil ada yang meneriaki, ada yang mengamati serius, yang lain menunjuk-nunjuk dengan telunjuk sambil tersenyum keheranan, ada juga yang sinis. Jalanan ramai. Senin siang di pukul tiga belas. Hari panas, hari pasar Waiwerang. Angin meniup sebentar pergi-sebentar datang. Bayangan pohon-pohon kelapa pelan-pelan memanjang dan akhirnya setengahnya membentangi jalan.
Sekilas ia memandangku. Mata kami beradu pandang. Pakaian dan tubuhnya terlihat kotor. Tapi, pria paruh baya itu rupanya rupawan yang hening. Matanya terang, wajanya tenang, rambutnya hitam lebat berombak-ombak kusut tak teratur. Ia seorang pria yang berpostur tinggi meski sedikit kurus. Kulitnya yang hitam kecoklatan menjadi lebih terang karena kaos putih yang dikenakanya itu.
Setelah melirik suasana sekitar, dari duduknya ia beranjak sambil beri penghormatan kepada lubang-lubang itu seolah ia berhadapan dengan yang tertinggi, teragung, terhormat. Kemudian ia membalik dan pergi dalam langkah kaki yang tegar menyusuri jalan trans Adonara. Di bawah terik sinar yang cukup menyengat, ia terus berjalan. Berjalan terus dengan maksud menjumpai lubang-lubang jalan dengan aspal yang terkelupas lebar dan dalam.
Pria itu pasti akan lama sebelum tiba ke Waiwerang sebab perhentian-perhentian berikut di depan, rasa-rasanya lebih menggilai kegilaannya. Banyak lubang-lubang dalam, lebar-lebar pula kelupasan aspalnya. Ya, jalur sepanjang Desa Tuawolo-Got Hitam, yang rusaknya tak terkira itu barangkali perlu ditangisi. Ah, sudah tentu ia lama dengan kerusakan-kerusakan berat di depan. Pasti sangat lama di sana”!
Sopir truk :
“Hu, ah, sial apa hari ini, mimpi apa aku tadi malam? Tidak kusangka kalau ada manusia di depan. Apalagi pada hari sesore ini. Ia membungkuk di tengah badan jalan tepat di tikungan. Aku sempat melihatnya tapi sudah terlalu dekat, hanya berjarak kurang lebih satu meter. Aku hilang akal dan hilang segala yang seharusnya terkonsep spontan. Jarak sudah sangat dekat. Dalam posisi ini, siapa saja, pasti berlaku hal sama seperti yang kualami. Tabrak atau lebih buruk seperti yang kualami tadi, menggilas. Tak ada prasangka, tak ada fokus yang sempurna dari seorang pengemudi manapun ketika melintasi sebuah tikungan tajam. Pak Polisi, tentu tahu bagaimana tikungan di Libu?
Seorang penyaksi tadi berkata seperti menghiburku. Tegasnya yakin bahwa, aku tidak perlu berlebihan takut dan khawatir, karena ia seorang gila dan tentu ia salah. Padanya aku berkata bukan persoalan ia seorang gila dan sedang menangisi lubang-lubang jalan—itu bukan masalahku. Bagaimana mungkin aku tidak merasa khawatir. Akulah penabraknya! Apalagi ia seorang manusia. Kusesali kenapa mesti ia membungkuk di tikungan. Aku bersedia tanggung jawab, Pak. Sekalipun ia gila, ia juga masih seorang manusia, bukan? Aku siap diadili dan siap memikul resikonya”!
Polisi :
“Ini murni sebuah kecelakaan. Kecelakaan yang tergolong tragis karena korban tergilas dari belakang hingga sebagian besar tubuhnya remuk. Mayat korban langsung dibawa ke Puskesmas Waiwerang dan telah berhasil dikenali. Ia adalah seorang warga Waiwerang. Kami sudah menghubungi pihak keluarga korban, istrinya. Istrinya itu sempat shok lama, anak-anaknya juga. Kasihan mereka. Suami dan Ayah mereka, niatnya sungguh mulia.
Pasti orang-orang yang sempat melihatnya berjalan dan beraksi sepanjang jalan Sagu – Waiwerang, berpikir ia gila. Ia bukan orang gila. Ia seratus persen waras. Segala macam aksinya adalah tindakan sengaja. Ungkap istrinya, Eman sang suami, melakukan itu sebagai sebuah protes. Subuh tadi ia pamit dari rumah, buru-buru agar bisa mendapat bemo angkotan yang pulang menghantar pedagang-pedagang dari Sagu ke Waiwerang. Ah, sungguh mulia ia.
Si pelaku, si sopir truk itu sudah kami amankan. Dia sendiri yang datang menyerahkan diri. Dia termasuk pria yang bertanggung jawab, tidak pengecut. Dalam keadaan yang serba genting, dia tidak lari dari kesulitan itu, malahan bersikap jujur. Dia sudah mengakui semua. Dia punya rasa kemanusian tinggi. Tapi biar bagaimanapun kami juga butuh saksi. Kami akan menindaki persoalan kecelakaan ini”!
Abdulah :
“Sore itu, gempar berita kecelakaan hebat. Orang-orang membicarakan kronologis sebuah kecelakaan di tikungan Libu barusan ini. Beberapa kerabat yang kebetulan menyaksikan langsung peristiwa itu menutur pun ngeri sambil membayang kenaasan itu.
Siapa? Astagfirullah, sepanjang siang tadi ia berada begitu dekat, wajahnya pun masih utuh lekat, lengkap dengan segala aksinya yang sempat kurekam penuh di ingatan. Kata mereka, orang gila itu digilas mobil truk pengangkut pasir. Sebagian besar tubuhnya hancur. Kematian yang tragis. Polisi dan petugas Puskesmas sudah membawa pulang mayatnya.
Mendengar tadi, entah apa yang berkecamuk dalam hati. Seolah-olah ia adalah seorang kenalan sehingga rasa-rasa aku tak sampai hati untuk tidak empati. Ah, kenapa pria paruh baya itu harus mati sebelum tiba di Waiwerang? Tapi pasti ia akan tenang di alam sana lantaran segala kerusakan jalan terberat sudah ia lewati. Ia menunaikannya. Sungguh, kasihan ia. Ya Allah, terimalah ia di sisimu. Ah, si aktivis gila yang malang”!
Agnes :
“Petang itu, saat hari menjelang malam, aku menerima kabar dari dua petugas polisi. Dan kabar itu terasa seperti sebuah ledakan hebat. Melumpuhkan rasa dan pikiranku. Langit seolah runtuh, mataku sayu, pandanganku gelap dan segala pikiran buntuh. Aku jatuh dan beberapa menit tak sadarkan diri.
Oh, seharian, tak ada tanda-tanda akan adanya ini. Sepanjang minggu ini, kemarin, tak ada rasa batin yang mengisyaratkan perpisahan. Jika tahu berakhir begini, aku pasti melarang. Ah, hah, aku tak kuasa lagi berbicara panjang lebar tentang Eman, aku tak kuat. Terlalu cepat, Eman. Oh… uh, Tuhanku. Eman..oh, Emanuel…”!*
Februari, 2015
Ide ceritanya keren, Kak. Meski ada beberapa bagian yang saltik. Salam Literasi.
Terima kasih untuk masukannya, Kak. Salam literasi.
Awalnya lucu endingnya sedihh terharu sekalii e🥺
Kisahnya sepertinya saya tahu. Semangat menulis bro 🤭