No Result
View All Result
  • Login
Pustaka Bambu
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami
No Result
View All Result
Pustaka Bambu
No Result
View All Result

Rumah Kami + Ayah Otoriter

Kopong Bunga Lamawuran by Kopong Bunga Lamawuran
in Cerpen
A A
4
Rumah Kami + Ayah Otoriter

Sumber foto : pngdownload.id

KEHENINGAN HANYA ada di larut malam. Tapi karena saat itu kami biasanya telah lelap, maka kami jarang menikmati suasana hening ini.

Keheningan (yang jarang kami nikmati) inipun tidak berlangsung lama. Kalau dihitung-hitung, durasinya hanya sekitar empat jam. Karena pada pukul 04.00, atau kalau tidak molor sedikit, orang-orang rumah bangun satu per satu, dan hal pertama yang mereka lakukan adalah berbicara. Aku tidak mengatakan bahwa aku tidak menyukai aktivitas berbicara, tapi berbicara dalam durasi yang lama pun kadang membosankan.

Aku ingin mengisahkan padamu tentang aktivitas berbicara ini, tapi pertama-tama izinkanlah aku menceritakan sejarah keberadaan kami di sini. Tujuh puluh enam tahun silam, Ayah mendapat hadiah sebidang tanah dari entah siapa, yang letaknya di pinggir kota. Sebenarnya tidak benar kalau tanah itu adalah ‘hadiah’, karena pada saat itu Ayah sempat membayar sejumlah uang kepada sang pemberi itu. Maksudku, istilah ‘hadiah’ ini bisa dipakai karena luas tanah yang kami dapat memang tidak sebanding dengan besarnya uang yang Ayah serahkan. Tapi sejarah itu tidak lagi penting buat kami. Yang penting ialah bahwa tanah itu teramat luas, dan sebagai anak-anak, kami amat berbahagia karena kami bisa berbagi tanah itu sesuka hati.

Dari rahim Ibu, lahir kami lima orang. Boleh kukatakan cukup subur rahim Ibu. Tapi yang lebih subur tentu saja rahim para istri kami. Bayangkan, dari lima orang istri, lahir tiga puluh empat anak. Bukan omong sombong, tapi kami bisa menyusun sebuah pasukan dan menguasai kota. Apalagi, kami juga memiliki beberapa ekor anjing, yang setiap waktu bisa kami gunakan untuk membantu kami, baik untuk mencari hewan buruan maupun untuk menakut-nakuti orang.

Pada mulanya, Ayah membangun sebuah rumah besar untuk kami tempati. Rumah itu memiliki banyak kamar, sehingga kami semua bisa tinggal di situ tanpa saling berebut tempat tidur. sebuah ruang makan yang besar juga dibuat, dan di tempat itulah kami biasa duduk, berdiskusi, bercengekrama, juga bergosip.

Namun, atas dasar kemadirian dan privasi, sebagian saudaraku terpaksa membuat rumah baru, dan hidup bersendiri dengan keluarga masing-masing. Rumah-rumah itu dibangun dekat rumah utama, seperti pos-pos penjagaan melindungi rumah utama.

Dengan dibangunnya rumah baru milik para saudaraku ini, jangan berpikir bahwa aktivitas di rumah utama akan sepi. Dari segi kesibukan, tak ada yang berubah di rumah utama. Para kakak ipar akan selalu datang di rumah utama, memasak dan bergosip dengan Ibu, dan kami selalu makan bersama di rumah utama. Sepertinya rumah-rumah baru itu dikhususkan hanya untuk tidur malam bagi anak-anak, dan tempat bersetubuh bagi para saudaraku.

Kini aku mesti kembali menyambung apa yang telah aku janjikan di atas. Sekira pukul empat pagi, empat kakak iparku telah datang ke rumah utama. Aku dan istriku pun telah bangun, dan selagi dia bergabung dengan yang lainnya, kugunakan sedikit kesempatan untuk berbaring kembali di atas karpet dekat meja makan.

“Apa anjing-anjing suda diberi makan? Aku tidak tahu mengapa aku bertanya tentang anjing-anjing ini, tapi seharusnya mereka diberi makan terlebih dahulu,” kata Kakak Ipar Pertama.

“Kita urus terlebih dahulu kebutuhan manusia. Tidak baik jika urusan manusia belum selesai, kita sudah mengatur makanan anjing. Apakah menurutmu anjing lebih berharga daripada manusia?” sanggah Kakak Ipar Kedua.

“Mengapa kita harus meributkan hal sepele ini?” sambung Kakak Ipar Ketiga. “Sebagai makhluk hidup, kedua-duanya berharga. Dan tidak penting siapa di antara keduanya itu mendapatkan jatah makan terlebih dahulu. Yang penting adalah mereka semua bisa makan.”

“Anjing adalah binatang hina. Dia tidak sama dengan manusia. Menurutku, seharusnya kita tidak boleh memelihara anjing. Menjijikan,” sambung Kakak Ipar Keempat.

“Kita lupakan masalah anjing ini. Aku heran, akhir-akhir ini Ayah selalu tampak murung! Sikapnya mulai berubah.”

“Umur tua memang membuat semuanya berubah. Dia tidak kuat seperti dulu lagi.”

“Sepertinya, Ayah telah mengambil satu keputusan yang justru melukai hati anak-anaknya.”

“Ah, masa? Suamimu mengatakan begitu?”

Pembicaraan sesama istri masih dilanjutkan. Dan menurutku pembicaraan mereka ini tampak aneh, karena bayangkan, masing-masing di antara mereka mengeluarkan suara tepat setelah seorang mengutarakan pendapat, sehingga sepertinya tidak ada jeda waktu untuk seseorang berpikir. Istriku juga ikut menyumbang pendapat, tapi sepertinya tak ada satu pun di antara mereka secara serius terlibat dalam diskusi pagi ini.

Dari satu topik, mereka kemudian beralih ke topik yang lain. Anjing, manusia, Ayah, kebun, tanah, makanan, dan segala hal remeh tak luput dari pembicaraan mereka. Ketika seorang mengutarakan satu pendapat, seorang lagi menyusul dengan pendapatnya, seorang lagi mengatakan pendapat yang berbeda, seorang lagi merasa semua pendapat yang disampaikan orang terdahulu adalah keliru belaka. Bahkan terhadap hal-hal yang tidak mereka kuasai sama sekali, mereka turut membahasnya dengan kadar semangat yang tinggi. Misalnya, topik tentang bagaimana membangun sebuah rumah layak huni, yang saat ini sedang mereka debatkan.

Saat seseorang mengatakan rumah layak huni harus memiliki fondasi yang kuat, seorang lagi mengatakan dasar rumah tidak terlalu penting. Yang penting adalah dinding-dindingnya. Seorang lagi mengatakan bahwa atapnyalah yang terpenting, karena tanpa atap yang baik, para penghuni rumah akan kehujanan dan kepanasan. Istriku malah mengklaim bahwa semua hal itu tidak penting. Yang penting adalah kebahagiaan seluruh penghuni rumah. Selama hampir sepuluh menit, mereka membicarakan topik ini dengan semangat menggebu-gebu, tak terkalahkan, tak terelakkan. Aku pusing. Apakah mereka pernah membangun sebuah rumah? Mengapa mereka membicarakan sesuatu yang tidak mereka pahami?

Mereka sepertinya sangat bahagia karena telah mengeluarkan segala pendapat yang terlintas dalam kepala. Setelah melibatkan diri dalam debat yang melelahkan otak ini, mereka mulai bekerja. Anggota rumah yang lain pun telah bangun, datang dan duduk di ruang makan, dapur, dan di mana saja sesuka hati mereka. Ibu pun telah bangun dan memasak bersama para menantunya. Anak-anak mulai bermain, bernyanyi, menangis, berteriak. Aku tidak tahu bagaimana situasi di rumah-rumah yang lain, tapi suasana di rumah utama ini begitu sibuk dan hidup.

Para abangku pun mulai berdatangan. Kopi, pisang goreng, ubi rebus, dihidangkan. Persediaan makanan kami sesungguhnya melimpah, tapi karena banyak mulut yang harus diberi makan, maka terkadang persediaan makanan itupun cepat habis. Terbukti pagi ini: beberapa potong ubi harus kami bagi agar semua orang bisa dapat makanan.

“Di mana Ayah?” tanya Kakak Pertama.

“Seharusnya dia sudah bangun. Bangun telat itu tidak baik untuk kesehatan,” sambung Kakak Kedua.

“Katakanlah bangun pagi itu baik untuk kesehatan. Tapi mengapa kesehatan Ayah semakin memburuk. Dia makin linglung. Padahal selama ini Ayah selalu bangun pagi. Pendapat bahwa bangun pagi itu baik untuk kesehatan aku tidak terima,” sambung kakak yang lain.

“Menurut para ahli, udara pagi membuat paru-paru sehat. Bangun pagi juga membuat kita menjadi lebih segar,” sanggah Kakak Kedua mempertahankan pendapatnya.

“Kamu dokter?” tanya Kakak Pertama.

“Tidak.”

“Kalau kamu bukan dokter atau para ahli, mengapa kamu membicarakan sesuatu yang tidak kamu tahu pasti? Mengapa kami harus yakin dengan hal-hal yang belum pasti secara ilmiah? Dan mengapa sampai saat ini Ayah belum bangun juga?” seru kakak yang lain.

Debat yang ramai seperti ini selalu terjadi setiap hari, bahkan setiap saat, dengan topik-topik beragam. Beberapa kali aku ikut menyumbang sepata dua kata sambil menghirup kopi. Sebagian anak-anak yang bermain di sekitar kami selalu tertawa cekikikan melihat perdebatan ini. Sebagian lainnya tetap bermain dan sama sekali tidak peduli. Mungkin mereka menganggap kami bodoh. Atau mengganggap kami terlalu mulut besar. Tapi apa peduli kami dengan pendapat anak-anak ingusan seperti mereka? Toh mereka masih kecil, tak tahu apa-apa, dan hidup belum mengajarkan mereka apa-apa.

Kami terus berdebat sepanjang pagi itu, membicarakan hal-hal penting sampai hal paling remeh, seperti bagaimana cara kami bercinta. Dan yang lebih memalukan adalah, kami pada akhirnya membicarakan kekurangan-kekurangan para tetangga kami, seolah mereka tidak berarti apa-apa di hadapan kami. Hampir semua orang berpendapat bahwa keluarga kami lebih baik daripada keluarga lainnya, karena kami memiliki tanah yang luas, dan anggota keluarga yang melimpah ruah. Para istri di ruangan yang lain pun tak ketinggalan dengan sebuah topik yang dashyat ini. Dengan suara melengking bagai kuda, mereka membanggakan anak-anak kami, dan merendahkan anak-anak tetangga.

Sekira pukul 10.00 pagi, Ayah bangun dari tidurnya. Pria ini sudah sangat tua, hampir 100 tahun usianya, tapi syukurlah, dia masih bisa makan, jalan, tidur, berbicara, dan belum mati. Kami tidak tahu apakah Ayah masih bisa menggunakan otaknya untuk berpikir.

Saat dia berjalan ke arah kami, semua mata tertuju padanya. Kami, anak-anak kandungnya, pada mulanya menaruh rasa hormat yang tinggi padanya. Dia adalah ayah kami, kakek dari anak-anak kami. Sebenarnya tak ada alasan bagi kami untuk menaruh rasa tak suka padanya. Tapi akhir-akhir ini, kehidupan sepertinya telah berubah, sama halnya dengan setiap pandangan kami mengenai Ayah. Ada satu keputusan yang dibuat ayah dan membuat kami semua terluka.

Saat dia duduk, secangkir kopi dihidangkan di hadapannya. Dengan gemulai, Ayah mengangkat cangkir itu dan menghirupnya. Dengan penuh ketakjuban, kami semua menatap bibir keriput Ayah, rambutnya yang telah memutih, pergelangan tangannya, dan semua hal yang akhir-akhir ini semakin aneh di mata kami.

Dengan bertambahnya usia, pria ini semakin lemah dan tak berdaya. Matanya tak setajam dulu, tangannya tak sekuat dulu. Aku masih ingat, pada waktu ayah masih kuat dan kami baru saja menginjak usia dewasa, Ayah menyuruh kami membersihkan lahan di belakang rumah, lalu meminta kami menanam anakan pohon memenuhi sebagian besar lahan milik kami. Kami menuruti perintah Ayah dengan antusiasme yang membuncah. Tak ada yang lebih membahagiakan selain mengeluarkan keringat demi tujuan Ayah, tujuan kami bersama. Bibit-bibit pohon itu telah tumbuh dan menjadi pohon yang kokoh, rindang, dan daun-daunnya menjadi kompos yang baik.

Selain menanam pohon, sebagian lahan juga kami gunakan untuk menanam ubi, jagung, sagu, padi, pisang, dan berbagai jenis tanaman lain sebagai makanan sehari-hari. Saat panen, hasilnya amat melimpah. Selain untuk kebutuhan hidup sehari-hari, sisanya kami simpan di lumbung untuk menjaga keberlangsungan hidup kami ke depan. Kami jarang membeli beras di tempat lain, karena kami sangat mandiri.

Ayah selalu berkata kepada kami, “Ingatlah! Kita adalah petani. Sebagai petani, kita harus bertani. Dan untuk bisa bertani, kita harus memiliki tanah. Jangan pernah menjual tanah kepada orang lain. Kalau ada yang datang menawarkan tanah ini, ketoklah kepalanya dengan pangkal kelewang.”

Bertambah tahun, pohon-pohon makin banyak, dan, “Mengapa kita tidak menggali sumur?” kata Ibu.

Ayah menyetujuinya. Maka menggalilah kami, dan hanya tiga meter dalamnya, kami sudah mendapatkan sumber air. Kini lengkaplah sudah kehidupan kami, pikirku saat itu. Kehidupan seperti di surga. Apakah aku pernah melihat surga? Belum. Tapi kuyakin seperti inilah surga itu. Makanan ada, air ada, apalagi?

Lalu satu per satu kami menikah. Alangkah ajaibnya, atau memang rahim para istri sangat subur, masing-masing dari kami memiliki anak-anak yang cantik molek jelita. Seperti yang telah kukatakan, jumlah anak-anak kami sebanyak 34 orang. Saat bayi, mereka montok-montok. Kau akan langsung tertawa bahagia hanya dengan menyentuh pipinya. Itulah anak-anak yang kemudian selalu menertawakan kami sewaktu kami berdebat.

Tadi kukatakan bahwa ada satu keputusan Ayah yang membuat kami terluka. Aku ingin mengisahkan itu, tapi karena makan siang telah disiapkan, tahan dulu sejenak rasa penasaranmu, dan marilah makan bersama kami.

Sepanjang pagi sampai siang, ayah sama sekali tak mengeluarkan suara. Mungkin ia tidak mampu lagi berpikir di usia sesenja ini, sehingga tak bisa lagi mengutarakan pendapatnnya. Atau, dan ini bisa jadi alasan paling tepat, dia masih menyimpan dendam hanya karena kami menolak mentah-mentah keputusannya. Saat makan siang dihidangkan, tanpa menunggu lagi, pria ini langsung melahap berbagai jenis makanan di atas meja. Ini sangat aneh sekaligus menyakitkan, karena artinya ayah tak lagi menganggap kami berarti di hadapannya. Rasa heran itu membuat kami selain ayah saling berpandang-pandangan, duduk tak bergerak dengan mulut terbungkam. Setelah seporsi selesai, dia menambah lagi dua porsi, minum air, bangun, lalu berjalan ke belakang rumah.

Dengan tingkah laku ayah ini, maka makan siang kali ini terasa amat menyedihkan. Bukan karena si pria tua itu makan tanpa memerhatikan kami. Tapi lantaran nafsu makannya yang begitu tinggi, makanan yang tersisa tidak cukup untuk kami semua. Kami, para orangtua, terpaksa harus mengurangi jatah makan kami sehingga bisa cukup untuk anak-anak.

Setelah menghabiskan makanan, kami tetap duduk di tempat semula dan mulai berdebat kembali. Kamu tentu bertanya, apakah kami tidak bekerja? Oh, kami memang tidak banyak bekerja. Yang lebih banyak kami lakukan akhir-akhir ini adalah duduk berlama-lama dan mendiskusikan berbagai hal secara acak.

“Ayah sudah berubah sama sekali,” kataku membuka pembicaraan.

“Dia sudah pikun. Tidak waras lagi. Dia makan terlalu banyak!”

“Makan banyak baik untuk kesehatan.”

“Tidak. Makan terlalu banyak tidak baik untuk kesehatan!”

“Sejak kapan makan terlalu banyak tidak baik untuk kesehatan?”

“Apakah makanan yang kita makan ini bergizi?”

“Sepertinya persediaan makanan kita telah habis.”

“Persediaan makanan kita masih cukup.”

“Coba tanyalah kepada anak-anak, apakah mereka masih lapar?”

“Anak-anak, apakah kamu masih lapar?”

“Lapar, Ayah.”

“Kami tidak lapar.”

“Diam!”

“Tutup mulutmu!”

“Aku lapar…”

“Jangan mengeluh!”

“Di mana Ayah?”

“Ya, di mana Ayah!?”

“Diam dan dengarkan!”

Kamu tentu tidak puas dan bertanya-tanya, siapa saja yang berbicara kali ini? Ya, aku pun tidak tahu siapa saja yang berbicara kali ini! Sepertinya semua orang saling berbicara, saling memerintah, dan saling bertanya. Dan semua orang tidak ingin saling mendengarkan. Kami sepertinya telah melupakan kehadiran Ayah, dan untuk beberapa saat ke depan, kami masih berdebat tentang topik-topik sederhana tapi tidak membosankan.

Untuk memenuhi janjiku, maka baiklah kukisahkan awal mula perseteruan terselubung kami dengan sang Ayah. Tujuh hari lalu, pada pukul 5 sore, Ayah yang rentah ini meminta kami duduk bersamanya di meja makan. Setelah kami duduk, Ayah berkata, “Saya telah membuat sebuah keputusan, dan kamu harus mendengar keputusan ini!”

“Ceritakan, Ayah. Kami mendengarkan,” balas Kakak Pertama.

Ayah menatap kami satu per satu dengan tatapannya yang rentah, lalu menyahut, “Tanah kita memang sangat luas. Masing-masing dari kamu telah mendapatkan bagiannya, mendirikan rumah, dan kehidupan rumah tangga kalian terlihat baik-baik saja. Pohon-pohon yang kita tanam pun tumbuh subur dan rindang, dan ada sumur di tanah ini. Artinya kita memiliki sumber air. Saya berpikir tanah ini terlalu luas untuk kita kelolah sendiri. Karena itu, saya berniat menjual sebagian.”

“Mengapa Ayah berniat menjualnya?” tanya kami hampir bersamaan.

“Mengapa saya tidak bisa menjualnya? Menjual atau tidak menjual itu menjadi tanggung jawab saya. Saya sudah membuat keputusan, dan pertemuan kali ini bukan untuk mengubah keputusan itu. Keputusan tetaplah keputusan. Kemarin ada seorang kenalan, dia pengusaha, datang dan menawarkan untuk membeli sebagian lahan kita. Dan saya telah setuju untuk menjual sebagian tanah ini,” katanya dengan satu tarikan nafas.

“Seharusnya Ayah membicarakan hal itu dengan Ibu dan kami.”

“Tidak perlu. Sebagai seorang Ayah, saya memiliki hak untuk menjualnya, sejauh hal itu bisa menguntungkan kita semua?”

“Apa untungnya jika sebagian tanah ini dijual?”

“Saya sudah menghitungnya. Dan itu keputusan final. Dalam waktu dekat mereka akan datang dan membabat pohon-pohon. Relakan itu.”

“Kami akan menggunakan pangkal parang mengetok kepala mereka. Ayah mengajarkan hal itu kepada kami.”

“Untuk masa ini, kita mesti lebih bijaksana,” sanggah Ayah, “Dia menawarkan uang yang banyak, dan apakah kamu tidak menyukai uang? Aku menyukai uang, karena dengan uang, kita bisa membeli semua makanan yang kita butuhkan.”

“Ayah, uang bukanlah segalanya. Uang tidak bisa menumbuhkan pohon-pohon, seperti yang telah kita lakukan. Ayah harus mendengarkan kami!”

“Kamu yang seharusnya mendengarkan saya! Saya sudah perhitungkan baik-baik.”

“Apa yang telah Ayah perhitungkan? Jika mereka telah mendapatkan tanah ini, di mana cucu-cucumu bisa bertani? Ayah selalu bilang seorang petani haruslah memiliki tanah? Apakah mereka bisa bertani tanpa memiliki sebidang tanah?”

“Mengapa saya harus pikir sejauh itu? Dengar. Kami telah menyepakati ini. Telah diputuskan,” katanya dengan keras, lalu bangun dan berjalan ke arah kamar tidur.

Spontan kami bangkit dan menyusulnya. Tapi pintu kamar telah dikunci. Kami memanggil-manggil namanya, tapi tidak ada jawaban. Lama sekali kami berdiri di depan pintu kamarnya, memanggil-manggil namanya, tapi tak ada jawaban sama sekali. Hanya sunyi yang kami dengar.

Ayah masih tetap bungkam dengan kami sampai saat makan siang kali ini.

Usai berdebat, kami memutuskan untuk mencari Ayah, memintanya mempertimbangkan kembali keputusannya. Kami telah berada di belakang rumah, saat kami mendengar teriakan-teriakan dan bunyi senso menggema memenuhi rumah kami. Berjarak seratus meter, Ayah sedang berdiri bersama seseorang, dan sekitar 5 orang sedang membabat pohon-pohon yang kami tanam. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan oleh para saudaraku, tapi masing-masing dari kami mengambil kelewang dan berjalan ke arah para penebang pohon itu.

Saat mendekat, ayah menghampiri kami, spontan menampar kami satu per satu. Wajah kami makin memerah.

*****

17 Agustus 2021

ShareTweetShare

Comments 4

  1. Roman Nama says:
    3 years ago

    Apakah saya harus meninggalkan satu komentar kritis atas cerpen ini, entahlah …
    Intinya saya mau memuji dulu ide dan gaya penulisan yang luar biasa bagus, detail dan bagian-bagiannya yang mengagetkan.
    Sebaiknya saya menuliskan kesan saja, bahwa saya seperti sedang membaca cerpen terjemahan. Dan sambil bertanya-tanya, bagaimana bisa Ambuga menulis cerpen sebagus ini …

    Reply
    • Ambuga Lamawuran says:
      3 years ago

      Makasih Massss untuk apresiasinya…

      Reply
  2. Rambu Prailiang says:
    3 years ago

    Ah. Apakah sebatas itu ceritanya, jika masih bersambung tolong lanjutkan

    Reply
    • Ambuga Lamawuran says:
      3 years ago

      Makasih kaka Rambu sudah membacanya. Ceritanya habis sampe di situ saja le..

      Reply

Leave a Reply to Ambuga Lamawuran Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Esai

Belajar dari Pramoedya

Filsuf berkebangsaan Perancis, Rene Descartes, mewariskan pemikirannya yang terkenal, cogito ergo sum: “saya berpikir, maka saya ada.” Apa maksudnya? Rene...

Read more
Di Hadapan Mesin ATM, Kecemasan Kita Berbeda
Esai

Di Hadapan Mesin ATM, Kecemasan Kita Berbeda

Gerai ATM memang bukan sekadar mesin uang. Ada tersimpan harapan sekaligus kecemasan di dalamnya. Keduanya berbeda dimensinya dalam diri setiap...

Read more
Esai

George Orwell dan Peringatan Supaya Kita Jangan Jatuh Miskin

Dunia mungkin mengenal George Orwell (Eric Arthur Blair, 1903-1950) sebagai seorang sastrawan besar berkat novel alegoris politiknya Animal Farm dan...

Read more
Fidel Castro yang Mengagumi Ernest Hemingway dan Perjumpaan yang Remeh
Esai

Fidel Castro yang Mengagumi Ernest Hemingway dan Perjumpaan yang Remeh

Ernest Hemingway, raksasa sastra dunia berkebangsaan Amerika Serikat, pernah tinggal di negara Kuba selama dua dekade di sebuah perkebunan yang...

Read more
Tumbal
Cerpen

Tumbal

Pagi itu, setelah menggosok gigi dan duduk bersandar pada sebuah kursi di teras rumah, dia mendengar teriakan guru Konggor, seorang...

Read more
Tentang Suporter “Kampungan” di Transisi Sepakbola Modern
Esai

Tentang Suporter “Kampungan” di Transisi Sepakbola Modern

Gol tendangan geledek Ade Nene pada menit ke 93 masa injuri time, mengubah kedudukan menjadi 2-1 untuk keunggulan Perseftim (Flores...

Read more
Instagram Facebook Youtube Twitter Pinterest

Alamat Kami

Pustaka Bambu

Dusun Epubele, Desa Horowura, Kecamatan Adonara Tengah, Kabupaten Flores Timur, NTT.
E-mail : pustakabambu@gmail.com

© 2022 - Komunitas Pustaka Bambu

No Result
View All Result
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In