*****
Ketika menyusuri lorong di antara kelas-kelas menuju ruang kepala SDK-Witihama, Guna telah menyerahkan segala keputusan di tangan Tuhan. Kepasrahan itu begitu menebal, begitu kuat, sampai berpikir untuk berhenti di beberapa ruang kelas untuk mencari dan bertemu dengan guru Konggor pun dirinya tak sempat. Ruangan kepala sekolah itu terletak berdampingan dengan ruang guru, dan karena letaknya yang berdekatan dengan kamar mandi/wc, bisa dikatakan bahwa ruangan itu hanyalah ruang darurat bagi seorang kepala sekolah.
Setelah mengetuk pintu dan memberi salam, setelah mendapat balasan kemudian disuruh masuk, Guna memberanikan diri melangkah masuk lalu duduk pada sebuah kursi tepat di depan kepala sekolah. Sebuah meja membatasi posisi duduk mereka, dan di atas meja itu terletak berbagai arsip.
Setelah diam agak lama, kepala sekolah mengambil sebuah map berwarna kuning yang terletak di depannya. Dibukanya map itu, dan setelah mencermati isi map, dia berujar dengan suara berat, “Tamatan PGRI, ya? Sangat disayangkan ternyata universitas itu tidak diakui Dikti!”
Guna menunduk dan diam cukup lama. Kemudian dia berkata, “Apakah itu menjadi bahan pertimbangan Bapak?”
“Oh, tentu. Tentu. Tapi sudah kubicarakan dengan Guru Konggor kemarin. Tentang persoalanmu ini. Sudah kukatakan bahwa aku hanyalah alat negara. Tidak lebih. Dalam negara ini, di atasku pastilah masih banyak orang yang lebih berkuasa.” Ucapnya dengan senyum. Kemudian dilanjutnya dengan berbisik. “Tapi di sekolah ini, kupastikan bahwa tidak akan ada orang yang lebih berkuasa dariku.”
Guna tersenyum hampa. “Dan apa arti pembicaraan kemarin itu bagi Bapak?”
“Artinya bagiku? Artinya akulah orang yang paling berkemampuan untuk menentukan seorang layak menjadi guru atau jadi pengangguran.”
Ini adalah saat penghakiman. Guna menyadari itu. Saat penghakiman atas kekalahan yang telah terbentuk sebelum dirinya berperang. Dalam perjalanan pulang, disesali keputusan kepala sekolah itu sambil membayangkan wajah ibunya. Dia telah diterima mengajar di sekolah itu. Dalam pikirannya, dia tidak tahu apakah dalam keadaan menangis atau tertawa ketika harus menceritakan penerimaannya kali ini di hadapan ibunya.
(Anjungan, awal 2016)
Idealis tapi harus rasional. Banyak sekali teman-teman yang mengalami seperti Guna, ditolak karena alasan selembar pengakuan Dirjen Dikti bukan hanya PGRI Kupang, IKIP Budi Utomo Malang juga pernah. Tapi salut terhadapa Tokoh Kepala Sekolah, walaupun ruangannya dipaksakan tapi beliau masih memakai Akal Sehatnya, tentu karena Keseharian seorang Guna yang sopan dalam bertutur dan bertindak.