No Result
View All Result
  • Login
Pustaka Bambu
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami
No Result
View All Result
Pustaka Bambu
No Result
View All Result

Tumbal

Kopong Bunga Lamawuran by Kopong Bunga Lamawuran
in Cerpen
A A
1
Tumbal

Lukisan karya Mariam Akhobadze

*****

Ina Dai telah selesai membereskan meja makan. Sebelum mematikan lampu di dapur, dia membersihkan piring-piring kotor lalu menyimpannya di rak. Seharian, dari semenjak setelah menyuguhkan kopi untuk anaknya dan guru Konggor tadi pagi, dia menghabiskan sisa harinya di kebun. Cuaca terlalu panas untuk membayangkan kehidupan yang adem ayem saja di kampung ini. Hanya cerita kebun-rumah yang bisa dijalani ibu tua itu, dan itu dijalani semenjak dari usia kecil. Setelah anak semata wayangnya melanjutkan kuliahnya di Kupang; setelah suaminya gagal menahan serangan stroke; setelah segala beban kehidupan dilepaskan seorang suami dan sekarang hanya bersandar pada pundaknya, wanita itu mengandalkan hasil pohon mete yang ditanami di kebun. Guna adalah satu-satunya alasan perempuan tua itu mampu bertahan.

Setelah membereskan piring-piring itu, Ina Dai mematikan lampu di dapur dan melangkah ke ruang tengah. Didapati anak semata wayangnya itu duduk bermenung menghadap Jalan Raya Pos, Jalan Deandels. Buku itu hampir selesai dibacanya. Guna menutup buku itu lalu menatap ibunya. Rambut ibunya telah beruban, dan itu tidak terlalu merisaukan hatinya. Alasan rambut beruban itu tentu saja karena ketuaan. Kelesuan yang diperlihatkan ibunya juga tak terlalu merisaukan. Yang lebih mendebarkannya adalah sorot mata ibunya. Sorot mata itu bagai peniti, menikam-nikam jantungnya. Ina Dai mengambil tempat duduk yang tidak jauh dari anaknya.

“Apa guru itu memberimu jalan keluar?”

Guna menoleh sambil mengangguk. “Besok dia akan menghadap Pak Kepala.”

“Dan itu, apa artinya bagimu, Nak?”

Guna merasa tak sanggup menjawab. Didongakkan kepala, entah merenungi pertanyaan ibunya atau hanya sekadar menatap sinar bola lampu. Ada semacam ketaksanggupan nurani dan kegersangan rasa kemanusiaan, membuatnya harus dengan setengah hati menanggapi tawaran dari Guru Konggor tadi pagi. Dan ini diperparah lagi dengan pertanyaan ibunya.

“Artinya bagiku, Ina?”

Perempuan tua itu menatapnya dengan tenang. “Aku adalah satu-satunya tempat kamu berkata jujur.”

Setelah lama berdiam, dan setelah menemukan keberanian dalam kata-kata, Guna berujar dengan tenang, “Kedatangannya pagi tadi tentunya sangat mulia. Diam-diam kuakui, akupun akan melakukan hal yang sama jika ada seorang saudaraku mengalami hal serupa yang aku alami ini. Tapi harusnya dunia dan hidup tidak sesederhana itu.”

“Akan kubuatkan kopi, Nak,” ucap ibunya.

Setelah kembali dari dapur dan meletekkan cangkir kopi di depan anaknya, perempuan tua itu berujar, “Aku mengerti perasaanmu, Nak. Tapi aku mendengarkan ini bukan karena soal mengerti atau tidak mengerti. Aku bangga.”

“Bangga terhadap apa? Apakah…..”

“Tolonglah. Pertanyaanmu itu akan membuatku tidak paham, Nak. Lanjutkan saja ungkapan hatimu tadi.”

Guna menghela napas. Ini adalah kali pertama mereka membicarakan soal ini. Selain bahwa soal ini adalah soal yang cukup pelik, membicarakan hal pelik dengan seorang ibu adalah hal yang tak wajar.

“Yang membuatku kuatir bukan uluran tangannya itu, Ina. Yang lebih aku kuatirkan adalah diriku sendiri. Jawabanku atas uluran tangannya itu. Ina telah bersusah-susah membuatku memperoleh gelar sarjana sialan ini. Dan bantuan semacam itu, secara nurani, sangat aku sesalkan. Aku tidak akan main belakang hanya karena dunia pendidikan kita telah mencapku sebagai anak tiri. Selama bertahun-tahun, kupersiapkan diri untuk mengabdi demi memajukan tanahku ini. Bangsaku ini.” Guna berhenti sekejap untuk menyeruput kopinya. Lalu seolah berkata kepada diri sendiri, dia melanjutkan, “Tapi bangsa ini bangsa yang kacau. Bangsa yang sakit. Bangsa yang bercita-cita untuk maju namun dalam kekacauan. Aku sampai berkeyakinan bahwa bagi bangsa ini, kekacauan adalah hukum paling pasti dari sebuah kemajuan.”

Perempuan tua itu tersenyum. Sambil memegang pergelangan tangan anaknya, dia menanggapi, “Aku tidak terlalu paham dengan semua itu, Nak. Namun aku hanya sekadar bangga. Bangga karena kamu bisa berkata-kata seperti itu. Dan entah menerima ataupun tidak menerima bantuan dari guru itu, aku tetap bangga karena kamu sudah berpikir sejauh itu.”

Page 2 of 3
Prev123Next
ShareTweetShare

Comments 1

  1. Dominikus Palihama says:
    3 years ago

    Idealis tapi harus rasional. Banyak sekali teman-teman yang mengalami seperti Guna, ditolak karena alasan selembar pengakuan Dirjen Dikti bukan hanya PGRI Kupang, IKIP Budi Utomo Malang juga pernah. Tapi salut terhadapa Tokoh Kepala Sekolah, walaupun ruangannya dipaksakan tapi beliau masih memakai Akal Sehatnya, tentu karena Keseharian seorang Guna yang sopan dalam bertutur dan bertindak.

    Reply

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Esai

Keutuhan dan Warna Lokal Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang karya Silvester Petara Hurit – Kritik Sastra

Secara umum kita memahami karya sastra sebagai sebuah dunia baru yang diciptakan oleh pengarang. Dalam dunia baru ini, pengarang menggunakan...

Read more
Di Hadapan Mesin ATM, Kecemasan Kita Berbeda
Esai

Di Hadapan Mesin ATM, Kecemasan Kita Berbeda

Gerai ATM memang bukan sekadar mesin uang. Ada tersimpan harapan sekaligus kecemasan di dalamnya. Keduanya berbeda dimensinya dalam diri setiap...

Read more
Tumbal
Cerpen

Tumbal

Pagi itu, setelah menggosok gigi dan duduk bersandar pada sebuah kursi di teras rumah, dia mendengar teriakan guru Konggor, seorang...

Read more
Rumah Kami + Ayah Otoriter
Cerpen

Rumah Kami + Ayah Otoriter

KEHENINGAN HANYA ada di larut malam. Tapi karena saat itu kami biasanya telah lelap, maka kami jarang menikmati suasana hening...

Read more
Fidel Castro yang Mengagumi Ernest Hemingway dan Perjumpaan yang Remeh
Esai

Fidel Castro yang Mengagumi Ernest Hemingway dan Perjumpaan yang Remeh

Ernest Hemingway, raksasa sastra dunia berkebangsaan Amerika Serikat, pernah tinggal di negara Kuba selama dua dekade di sebuah perkebunan yang...

Read more
Bagaimana Martinus Menjadi Pegawai Honor
Cerpen

Bagaimana Martinus Menjadi Pegawai Honor

Hampir sepuluh tahun yang lalu Martinus menamatkan kuliahnya di Semarang. Berbekal ijazah di bidang desain komunikasi visual, pemuda tampan itu...

Read more
Instagram Facebook Youtube Twitter Pinterest

Alamat Kami

Pustaka Bambu

Dusun Epubele, Desa Horowura, Kecamatan Adonara Tengah, Kabupaten Flores Timur, NTT.
E-mail : pustakabambu@gmail.com

© 2022 - Komunitas Pustaka Bambu

No Result
View All Result
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In