*****
Ina Dai telah selesai membereskan meja makan. Sebelum mematikan lampu di dapur, dia membersihkan piring-piring kotor lalu menyimpannya di rak. Seharian, dari semenjak setelah menyuguhkan kopi untuk anaknya dan guru Konggor tadi pagi, dia menghabiskan sisa harinya di kebun. Cuaca terlalu panas untuk membayangkan kehidupan yang adem ayem saja di kampung ini. Hanya cerita kebun-rumah yang bisa dijalani ibu tua itu, dan itu dijalani semenjak dari usia kecil. Setelah anak semata wayangnya melanjutkan kuliahnya di Kupang; setelah suaminya gagal menahan serangan stroke; setelah segala beban kehidupan dilepaskan seorang suami dan sekarang hanya bersandar pada pundaknya, wanita itu mengandalkan hasil pohon mete yang ditanami di kebun. Guna adalah satu-satunya alasan perempuan tua itu mampu bertahan.
Setelah membereskan piring-piring itu, Ina Dai mematikan lampu di dapur dan melangkah ke ruang tengah. Didapati anak semata wayangnya itu duduk bermenung menghadap Jalan Raya Pos, Jalan Deandels. Buku itu hampir selesai dibacanya. Guna menutup buku itu lalu menatap ibunya. Rambut ibunya telah beruban, dan itu tidak terlalu merisaukan hatinya. Alasan rambut beruban itu tentu saja karena ketuaan. Kelesuan yang diperlihatkan ibunya juga tak terlalu merisaukan. Yang lebih mendebarkannya adalah sorot mata ibunya. Sorot mata itu bagai peniti, menikam-nikam jantungnya. Ina Dai mengambil tempat duduk yang tidak jauh dari anaknya.
“Apa guru itu memberimu jalan keluar?”
Guna menoleh sambil mengangguk. “Besok dia akan menghadap Pak Kepala.”
“Dan itu, apa artinya bagimu, Nak?”
Guna merasa tak sanggup menjawab. Didongakkan kepala, entah merenungi pertanyaan ibunya atau hanya sekadar menatap sinar bola lampu. Ada semacam ketaksanggupan nurani dan kegersangan rasa kemanusiaan, membuatnya harus dengan setengah hati menanggapi tawaran dari Guru Konggor tadi pagi. Dan ini diperparah lagi dengan pertanyaan ibunya.
“Artinya bagiku, Ina?”
Perempuan tua itu menatapnya dengan tenang. “Aku adalah satu-satunya tempat kamu berkata jujur.”
Setelah lama berdiam, dan setelah menemukan keberanian dalam kata-kata, Guna berujar dengan tenang, “Kedatangannya pagi tadi tentunya sangat mulia. Diam-diam kuakui, akupun akan melakukan hal yang sama jika ada seorang saudaraku mengalami hal serupa yang aku alami ini. Tapi harusnya dunia dan hidup tidak sesederhana itu.”
“Akan kubuatkan kopi, Nak,” ucap ibunya.
Setelah kembali dari dapur dan meletekkan cangkir kopi di depan anaknya, perempuan tua itu berujar, “Aku mengerti perasaanmu, Nak. Tapi aku mendengarkan ini bukan karena soal mengerti atau tidak mengerti. Aku bangga.”
“Bangga terhadap apa? Apakah…..”
“Tolonglah. Pertanyaanmu itu akan membuatku tidak paham, Nak. Lanjutkan saja ungkapan hatimu tadi.”
Guna menghela napas. Ini adalah kali pertama mereka membicarakan soal ini. Selain bahwa soal ini adalah soal yang cukup pelik, membicarakan hal pelik dengan seorang ibu adalah hal yang tak wajar.
“Yang membuatku kuatir bukan uluran tangannya itu, Ina. Yang lebih aku kuatirkan adalah diriku sendiri. Jawabanku atas uluran tangannya itu. Ina telah bersusah-susah membuatku memperoleh gelar sarjana sialan ini. Dan bantuan semacam itu, secara nurani, sangat aku sesalkan. Aku tidak akan main belakang hanya karena dunia pendidikan kita telah mencapku sebagai anak tiri. Selama bertahun-tahun, kupersiapkan diri untuk mengabdi demi memajukan tanahku ini. Bangsaku ini.” Guna berhenti sekejap untuk menyeruput kopinya. Lalu seolah berkata kepada diri sendiri, dia melanjutkan, “Tapi bangsa ini bangsa yang kacau. Bangsa yang sakit. Bangsa yang bercita-cita untuk maju namun dalam kekacauan. Aku sampai berkeyakinan bahwa bagi bangsa ini, kekacauan adalah hukum paling pasti dari sebuah kemajuan.”
Perempuan tua itu tersenyum. Sambil memegang pergelangan tangan anaknya, dia menanggapi, “Aku tidak terlalu paham dengan semua itu, Nak. Namun aku hanya sekadar bangga. Bangga karena kamu bisa berkata-kata seperti itu. Dan entah menerima ataupun tidak menerima bantuan dari guru itu, aku tetap bangga karena kamu sudah berpikir sejauh itu.”







Idealis tapi harus rasional. Banyak sekali teman-teman yang mengalami seperti Guna, ditolak karena alasan selembar pengakuan Dirjen Dikti bukan hanya PGRI Kupang, IKIP Budi Utomo Malang juga pernah. Tapi salut terhadapa Tokoh Kepala Sekolah, walaupun ruangannya dipaksakan tapi beliau masih memakai Akal Sehatnya, tentu karena Keseharian seorang Guna yang sopan dalam bertutur dan bertindak.