Meski kepemimpinan wasit profesional, rivalitas tim 90 menit dan infrastruktur yang memadai, stadion-stadion di tiga liga ini memiliki tribun berdiri untuk mempertahankan atmosfer pertandingan sepakbola. Oleh karena itu, tidak heran jika tiga liga ini masih menerapkan tribun penonton yang lebih tinggi dan jauh dari pinggir lapangan sepakbola dengan alasan keamanan.
Mundur lagi ke belakang, ke Liga Indonesia atau Indonesia Super League (ISL). Pihak keamanan harus eksta keras menjaga suporter hingga ke luar stadion bahkan hingga perjalan pulang suporter ke kota asal mereka. Perseteruan antar suporter kerap menimbulkan korban jiwa di balik atmosfer lapangan hijau yang mencengangkan.
Saya menarik mundur ke belakang di kualifikasi Liga 3 atau ETMC. Untuk ke-31 kalinya NTT menggelar turnamen ini, kita masih berkurat dengan kompleksitas masalah sepakbola mulai dari manajemen sepakbola yang tidak profesional, kepemimpinan wasit yang tidak profesional, pemain yang sering terpancing emosi, hingga aksi brutal suporter yang kita sebut “kampungan”.
Meskipun diksi “Kampungan” ini menurut saya bernada sarkatis dan mendiskreditkan orang-orang yang berasal dari kampung. Bisa jadi termasuk kita semua orang NTT yang berasal dari kampung. Namun, di sisi lain, kita juga sedang melihat ada perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik.
Siapa yang pernah melihat aksi suporter di tribun menyanyikan chant, mengibarkan bendera sambil menabuh drum dengan nada yang harmoni sebelum perhelatan ETMC di Ende pada 2017, di Malaka pada 2019 dan Lembata pada 2022?
Meski suksesnya tiga turnamen ETMC terakhir diwarnai dengan aksi pemain pukul pemain saat partai final antara Perse Ende berhadapan dengan PNS Ngada pada 2017 lalu, yang juga berujung pada aksi lempar batu hingga menyebabkan beberapa orang mengalami luka-luka.
Dua kondisi ini menunjukkan bahwa turnamen sepakbola NTT sedang berada di masa transisi menuju sepakbola yang modern. Sekali lagi “sepakbola modern” bukan “penonton modern”, jadi tidak bisa disandingkan dengan diksi “penonton kampungan” yang bernada satire itu.
Berbicara soal transisi, saya mengamini bahwa riak dan gojolak tentu ada. Di sepakbola modern ala Inggris dan beberapa negara lain di Eropa saja masih kita temukan aksi anarkis suporter. Apalagi sepakbola NTT yang masih berada dalam masa transisi.
Bukan berarti saya membenarkan adanya aksi anarkis hingga menyebabkan pemain Persematim mengalami luka. Kita sangat menyayangkan hal ini terjadi, dan berharap tidak ada aksi brutal yang terjadi seperti ini di masa yang akan datang. Namun dari dua kondisi yang kontras ini, kesadaran kolektif kita harusnya muncul bahwa sepakbola NTT sedang berada dalam masa transisi menuju sepakbola moderen.
Kita sedang berupaya mewujudkan manajemen sepakbola profesional, penonton yang tidak anarkis, wasit yang adil dan pemain yang matang secara mental dan skill saat bertanding. Gerak menuju sepakbola modern membutuhkan peran kita semua sebagai warga Flobamora.
Peran untuk saling mengingatkan antar sesama suporter tim agar tidak anarkis, peran untuk mengingatkan bahwa manajemen sepakbola modern itu tidak musiman dan tidak berakhir usai perhelatan ETMC 2022.
Peran kita untuk mengingatkan suporter lawan secara baik-baik di media sosial dengan nada yang tidak sarkatis, peran untuk mengingatkan pemain agar mampu mengendalikan emosi saat bertanding dan peran untuk menyukseskan ETMC 2022 Lembata.
Peran kita juga untuk menikmati yel-yel, chant dan tabuhan harmoni drum di tribun utara GOR 99 Pada, juga mengalirkan energi positif di antara kejadian-kejadian negatif sepakbola NTT. Jadi, mari saling mengingatkan, junjung tinggi sportifitas, legowo menyampaikan permohonan maaf, elegan memaafkan tanpa paksaan dan nikmati sepakbola dengan penuh gairah hingga klimaks. Salam Olahraga!