Di tengah rimbunan pohon kelapa, sebuah gubuk sederhana baru saja berdiri. Belahan-belahan bambu tersusun rapi menyelimuti.
Di dalamnya, sebuah rak kecil yang terbuat dari kayu menggendong setumpuk buku. Buku-buku lainnya berserakan di lantai, digerogoti anak-anak. Dari komik, majalah anak, cerita bergambar, novel, hingga buku pelajaran.
Saya tiba pukul 5 sore, tepat ketika matahari hampir tenggelam di punggung bukit — tempat gubuk itu berdiri. Atap-atap rumah warga terlihat jelas dari lereng bukit itu.
Di tenggara jauh, hamparan laut biru terbentang luas. Jurang memisahkan laut dan Dusun kecil itu. Dusun Epubele, Desa Horowura, Adonara Tengah — 500 meter dari permukaan laut, kata google maps.
Saya turun dari sepeda motor, menghela napas panjang setelah menempuh 3 jam perjalanan.
Lima belas kilometer menyebrang laut dari Pulau Lembata — 12 km menempuh jalan darat dari dermaga Desa Boleng — plus 10 km memanjat bukit berkelok dari Waiwerang, Ibu Kota Adonara Timur.

Lelah terbayar tuntas ketika teriakan girang anak-anak mulai terdengar. Mereka sedang belajar dan bermain.
Dari dalam gubuk itu, seorang anak muda, putra Dusun Epubele melemparkan senyumnya. Ia menghampiri sepeda motor yang saya tumpangi, mengulur tangan dan mengucapkan selamat datang.
“Ama[1], selamat datang di Pustaka Bambu.”
“Abang, luar biasa!”, saya menimpali.
Andri Atagora, demikian kami menyapanya. Seorang jurnalis yang kini mengemban tugas di Lembata. Ia sudah tiba sehari sebelumnya di kampung halamannya itu.
Di tengah kerumunan, kedua teman saya yang lain sedang asyik bermain bersama anak-anak.
Ricko Blues, seorang jurnalis yang juga bertugas di Lembata — dan Mister Tuukka, seorang wisatawan dan relawan dari Finlandia.
Tuukka baru tiba di Indonesia 1 minggu sebelumnya. Dari Lembata, ia bertolak ke Adonara dengan misi khusus: mengajak anak-anak Pustaka Bambu mencintai bahasa inggris.
Malam itu kami menginap di rumah Andri — titik tertinggi di Desa itu dibanding rumah warga lainnya — persis di lereng bukit Epubele, tak jauh dari gubuk Pustaka Bambu.

Cuaca dingin menusuk tulang. Suara jangkrik bersahut-sahutan dari semak-semak. Kabut putih menyelimuti hijaunya rumah yang dirindangi aneka tanaman hias itu. Kami bercerita di beranda depan, ditemani nasi jagung dan ikan bakar sajian Ema Matildis, Ibunda Andri.
“Inspirasi untuk membangun Pustaka Bambu ini datangnya dari Bapak saya”, ucap Andri di tengah diskusi.
Ia sesekali menengok ke sisi barat beranda, tempat Ayahnya disemayamkan, persis di depan rumah. Dari kejauhan, sebuah batu nisan masih segar tertulis;
“Hermanus Roman Nama, meninggal 10 Maret 2020.”
Andri adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Di tengah kesibukannya, ia selalu menyempatkan diri, setidaknya sekali dalam sebulan, kembali ke kampung halaman — mengunjungi Ibu dan keluarga.
Alasan lain yang menyanggupi dirinya mengiakan bisikan dari kampung halaman untuk pulang adalah semangat mewujudkan cita-cita mendiang Ayahnya: mendirikan gubuk baca untuk anak-anak di kampung.
Ayah Andri adalah seorang Guru yang semasa hidupnya mengabdi dari kampung ke kampung di Pulau Adonara.
Lima belas tahun lalu, ia mengirim Andri ke Jakarta untuk berkuliah — dengan pesan, kembali ke kampung halaman setelah lulus.
Di pengujung masa studinya, Andri bergulat keras dengan batinnya, dilema antara meniti karir di Jakarta atau kembali — berbakti untuk Lewotana[2].
Setelah 3 tahun bertugas sebagai jurnalis Ibu Kota, ia akhirnya memberanikan diri kembali ke Epubele.
Kepulangannya tak sendirian. Ia membawa serta 1000 judul buku bacaan anak-anak. Oleh-oleh untuk kampung halaman, katanya. Namun, karena belum punya tempat untuk menyimpan, buku-buku itu disumbangkan ke SD Inpres Epubele. Sebagian lainnya dititip sementara di Kantor Desa Horowura.
Beberapa buku sudah dibagikan kepada anak-anak di Desa itu, tapi sebagian besar masih terbungkus rapi di dalam dus. Keprihatinan Andri muncul ketika buku-buku yang dibagikan justru tak dibaca oleh anak-anak.
“Saya lihat ada buku yang karena covernya cukup tebal malah disobek dan dijadikan alat kipas api oleh ibu-ibu di tungku dapur”, tutur Andri mengungkapkan keprihatinannya.
Keprihatinan itu mendorong Andri untuk menyiapkan tempat yang aman dan nyaman untuk buku dan anak-anak.
“Awalnya saya bangun pondasi. Kebetulan di dekat rumah, ada sedikit tanah yang masih kosong. Bapa bilang, kalau mau bangun Pondok Baca, bangun di sini saja. Waktu itu tahun 2016, Bapa masih hidup. Tapi, karena uang yang terbatas, dan saya harus berangkat ke Kupang, bertugas di sana, pembangunan pondok baca tertunda sementara.”
Setelah 2 tahun mengemban tugas di Kota Kupang, Andri akhirnya hijrah ke Lembata.
Jarak yang relatif dekat dengan Adonara jadi semangat untuk menuntaskan cita yang sempat tertunda. Sedikit demi sedikit, gubuk sederhana itu perlahan dibangun.
Andri mempercayakan desain dan konstruksi bangunannya pada dua adik laki-lakinya, Reynold dan Hendry yang tinggal di Epubele. Sementara, ia menyisihkan sebagian pendapatannya, sedikit demi sedikit untuk biaya material konstruksi. Bersama warga Desa mereka bahu membahu, membangun pondok baca — secara sukarela.
Andri juga menyisihkan sebagian dana untuk merintis website sebagai wadah publikasi karya tulis Pustaka Bambu.
“Biar tinggal di kampung, tapi karya kita harus menjangkau banyak orang”, seru Andri memperkenalkan website Pustaka Bambu : https://pustakabambu.com/.
Sesuai namanya, Pustaka Bambu adalah semangat meliterasikan kampung halaman. Ia mengamanatkan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab semua orang — termasuk setiap anak tanah. Bahwa anak-anak di kampung terpencil, di tengah rimbunan bambu sekalipun, layak mendapat akses bacaan yang berkualitas — Mendapat ruang belajar yang nyaman — Bertumbuh dan mengenal lanskap dunia yang lebih luas — Mencintai budaya mereka — Hidup dan belajar berdampingan dengan alam.
Barangkali, kita mungkin berpikir, kenapa repot-repot memikirkan hal lain — seperti pendidikan — yang sebetulnya adalah kewajiban negara?
Well, Andri menyadari keterbatasan akses pendidikan anak-anak di kampung halamannya — keterbatsan ruang untuk mengalami metode belajar yang asyik, fleksibel, dan menggairahkan.
Ia mungkin berpikir, jika tak berani berbuat sesuatu, akan adakah anak Epubele lain yang mengikuti jejak jurnalismenya? — atau bahkan melebihinya?
Tak terasa, kami berdiskusi sampai subuh. Kali ini nasi jagung sudah habis dilahap. Tapi, ikan bakar dan sebotol arak[3] masih menunggu giliran di atas meja.
Topik-topik seru berkembang perlahan. Dari pendidikan, jurnalisme, pernikahan, hingga politik.
Segarnya udara dini hari membujuk Tuukka untuk bertanya,
Hey, what do you guys think about your Governor’s policy to force students to start school at 5 am?
Kami tertawa merespons kebijakan konyol Gubernur NTT itu. Tuukka kemudian menjelaskan perbedaan sistem pendidikan di negaranya, Finlandia dan Indonesia. Sudah jadi rahasia umum jika Finlandia adalah negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.
“I’ve seen many times, here in Indonesia, children and students are so scared when they make mistakes. And it became worst when their friends laughed and teachers gave them punishment. Also, students here are dictated by the teacher. In Finland, instead of dictating, teachers accompany children to learn. So, teachers are not teaching the children. They help children to learn.”
Testimoni Tuukka ini jadi refleksi kritis kami malam itu. Saya mempersoalkan budaya feodal yang masih menggerogoti tradisi pendidikan Indonesia.
Sementara Ricko menggunakan pendekatan sejarah, mengurai bagaimana feodalisme itu tumbuh, berkembang, dan bertahan di Indonesia.
Andri mengambil konklusi dengan terobosan praktik belajar berperspektif anak melalui Pustaka Bambu. Sebuah malam panjang penuh gagasan-gagasan cemerlang.
Waktu menunjukkan pukul 4 dini hari. Arak Adonara sudah lenyap tak bersisah — tapi diskusi kami masih jernih dari intervensi alkohol.
Andri pamit menuju kamar karena tak sanggup menahan suntuk. Di tengah ayunan langkahnya, saya melemparkan pertanyaan;
“Bang, kalau disuruh memilih, abang pilih Pustaka Bambu atau Kak Ina?
Ia tersenyum bimbang tak memberi jawaban.
Ina Assan adalah kekasih hati Andri Atagoran. Keduanya sudah berkomitmen untuk menikah dalam waktu dekat.
Selama sibuk mengurus Pustaka Bambu, Andri bertutur jika waktu produktifnya bersama Ina kadang tersita. Tapi semangatnya tak pernah luntur, berkat kekasih hati yang selalu mendukung.
Sesaat setelah Andri tertidur pulas, kami bertiga membahas hal ini: seperti apakah kehidupan setelah pernikahan? Apakah mimpi-mimpi bisa dicapai oleh dua insan yang berbeda? Kami tak mendapat jawaban pastinya.
Yang pasti, Pustaka Bambu akan menjadi anak kandung Andri dan Ina. Dan yang sudah pasti, Bapak Hermanus, Ayah Andri, tersenyum sumringah di malam itu — menyaksikan diskusi kami dari keabadian. Impiannya akhirnya terpenuhi.
Hari itu, Pustaka Bambu resmi berdiri. Bertepatan dengan kunjungan kami ke Adonara — satu hari setelah peringatan 3 tahun berpulangnya Bapak Hermanus.
Epubele, Sabtu, 11 Maret 2023.
[1] Sapaan lokal untuk seorang laki-laki.
[2] Sebutan lokal untuk kampung halaman.
[3] Minuman alkohol lokal.