No Result
View All Result
  • Login
Pustaka Bambu
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami
No Result
View All Result
Pustaka Bambu
No Result
View All Result

Keutuhan dan Warna Lokal Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang karya Silvester Petara Hurit – Kritik Sastra

Kopong Bunga Lamawuran by Kopong Bunga Lamawuran
in Esai
A A
0

Keutuhan Cerita.

Secara umum, hampir sama dengan etnis lainnya, masyarakat Lamaholot adalah orang-orang yang sangat menjunjung tinggi warisan leluhurnya. Adat istiadat dan budaya dipegang teguh. Mereka berkeyakinan bahwa jika ada aturan adat istiadat yang dilanggar, maka mereka akan memperoleh imbasnya. Dengan kepercayaan seperti ini, bisa dipastikan bahwa mereka akan menempuh berbagai cara untuk tetap mempertahankan segala warisan leluhurnya.

Namun dalam cerpen Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang, kita berhadapan dengan sebuah realitas yang paradoks. Salah satu desa di Lamaholot ini (seting cerita ini terjadi di sebuah desa yang tidak disebutkan namanya, tapi kita tahu bahwa cerita ini terjadi pada masyarakat Lamaholot dari nama-nama tokohnya, juga tradisi yang dimunculkan) tidak mampu memertahankan adat istiadat warisan leluhurnya, dengan alasan yang tidak terlalu jelas dalam tubuh cerita.

Masyarakat di tempat ini dikisahkan tidak bisa lagi memertahankan adat istiadatnya, tradisi berladangnya, dan berbagai tradisi lainnya, karena dilarang. Ini menjadi sebuah informasi yang menarik, karena tentu saja kita ingin mengetahui bagaimana sebuah kondisi semacam ini tercipta. Tapi sayang sekali, kita tidak menemukan informasi tersebut dalam tubuh cerita. Informasi ini sangat penting untuk kita, tidak hanya sebagai bahan sejarah (kalau memang hal ini benar-benar terjadi), tapi juga untuk mengetahui keutuhan cerita.

Pengarang mengemukakan beberapa fakta cerita bahwa tetua adat telah ditangkap karena mendirikan agama baru, pohon-pohon telah ditebang, tradisi berladang telah dilarang, tapi kita tidak menemukan keutuhan atau informasi ini dalam tubuh cerita. Saya mengutip dialog antara Nara dan Boli:

… Maka ketika masuk kampung, ia memberondongi Boli, teman bermain masa kecil, yang menjemputnya dengan sekian pertanyaan.
“Di mana pohon-pohon besar dulu?”
“Sudah habis ditebang dengan gergaji mesin, ditraktor, diracuni, dan dibakar.”
“Tak ada yang mencegahnya?”
“Siapa yang mencegah?! Pohon-pohon besar dianggap sarangnya kuntilanak, kurcaci, roh jahat. Tempat orang menyembah berhala serta bertapa jadi tukang sihir, santet dan semacamnya.”
“Tetua adat?”
“Mereka dihukum selama dua bulan dengan tuduhan mendirikan agama baru.”

Menurut saya, beberapa informasi dalam dialog yang disampaikan Boli kepada Nara ini menjadi infromasi penting yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Sayang sekali, saya akhirnya merasa tidak puas karena dialog ini seperti muncul begitu saja tanpa sebuah konteks yang jelas. Tidak ada adegan, dialog, maupun narasi yang menjelaskan siapa yang membakar, siapa yang menangkap tetua adat, bagaimana rupa agama baru yang dituduhkan itu, dan lain sebagainya. Informasi ini seperti berdiri sendiri, tak memiliki logika cerita, dan hadir tanpa ada sebab. Padahal, sebuah cerita fiksi memiliki keutuhan tersendiri sebagai sebuah dunia baru yang diciptakan oleh pengarang. Akan sangat bermasalah jika sang pengarang mengira pembaca sudah mengetahui konteks cerita, tanpa dia sendiri memasukkan konteks tersebut.

Bahkan untuk kisah-kisah populer, yang sudah diketahui banyak orang sekalipun, penulis sebaiknya memasukan konteks cerita, karena sebuah karya fiksi adalah sebuah dunia baru yang diciptakan oleh pengarang.

Informasi tentang penangkapan tetua adat, penebangan pohon-pohon, pelarangan ritual berladang, justru kita temukan bukan dalam tubuh cerita, tapi dalam sebuah artikel yang ditulis oleh pengarang sendiri pada media yang berbeda. Artikel berjudul “Memulihkan Trauma Kultural – Catatan dari Flores Timur” ini ditayang di media daring tatkala.co pada 28 Januari 2019. Dalam artikel ini, penulis menjelaskan perusakan rumah adat di desa Lewotala Lewolema di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Kejadian ini berlangsung pada tanggal 28 Agustus 1970. Rumah adat yang mempersatukan masyarakat 5 kampung itu dibakar di hadapan mayoritas masyarakat yang menyakralkannya.

Para tetua adat tak berdaya, hanya bisa menyaksikan bagaimana rumah adat tersebut dibongkar lalu dibakar oleh anak-anak kampung yang bertugas sebagai hansip. Para tetua adat juga dituduh mendirikan agama baru, dan mereka lalu mendapat predikat baru: setan, kafir, dan pemuja berhala. Berbagai ritus adat, simbol-simbol adat, tarian dan musik tradisional, dilarang. Selama puluhan tahun, semua hal yang menyangkut adat istiadat di 5 kampung ini (Lewotala, Lamatou, Belogili, Kawaliwu, dan Leworahang) dilarang.

Namun, situasi ini telah mendapatkan momen pemulihan pada tanggal 5-7 Oktober 2018, sewaktu masyarakat menggelar atraksi budaya secara kolektif dalam Festival Nubun Tawan.

Apakah konteks sejarah inikah yang menjadi rujukan dialog antara Boli dan Nara? Kita tidak tahu, karena tidak ada situasi tersebut dalam cerita pendek ini. Menurut saya, agar cerita ini mengalir dengan baik, hal-hal krusial mengenai dialog tersebut diikutsertakan juga dalam tubuh cerita, walau tidak secara detail. Harus ada ruang untuk menghadirkan logika cerita yang bisa diterima, sehingga tidak membuat kita kebingungan, dan berpikiran dialog-dialog tersebut diambil entah dari mana begitu saja tanpa ada konteks cerita yang jelas.

Dari komentar yang saya ikuti di Facebook, beberapa pembaca mengatakan bahwa cerpen ini menarik karena dia muncul sebagai satu bentuk perlawanan terhadap kapitalisme. Cerpen ini mau membela tradisi-tradisi lokal yang makin tergerus karena kapitalisme, dan juga memberikan pesan moral supaya warga tidak boleh menjual tanahnya. Namun untuk bisa menjatuhkan penilain semacam itu, kita mesti secara teliti membaca keseluruhan kisahnya. Saya mengutip satu beberapa kalimat lagi yang menunjukkan hal itu :

Bagaimana orang menghormati padi secara sungguh, menjaga malam-malam dengan hening, tak melakukan pesta pora dan kegaduhan, sedang tanah sebagai ibu yang melahirkan dan memangku manusia saja kini telah dijual?

Tapi, sekali lagi saya mesti mengerutkan kening dan bertanya: di bagian mana seorang melakukan transaksi jual beli tanah? Kalimat tersebut muncul begitu saja, tanpa ada sebuah kondisi yang memungkinkan dia bisa muncul. Kalimat kutipan di atas begitu abstrak, seperti hilang konteks, dan mengada-ada. Tidak ada siapapun dalam cerita itu yang melakukan jual beli tanah, karena itu narasinya menjadi kurang mengena.

Salah satu unsur penting dalam karya fiksi adalah keutuhan. Keutuhan ini bisa kita ukur dari logika-logika cerita yang dipakai oleh pengarang. Sebagai contoh, jika saya menggambarkan seorang tokoh menderita sakit, maka saya harus menceritakan pula bagaimana dia sakit. Logika dalam cerita haruslah seperti itu. Suatu kondisi sakit tidak muncul begitu saja, tapi harus ada sebab-akibatnya. Logika itulah yang membuat sebuah kisah menjadi cerita fiksi.

Ketakutuhan logika cerita juga masih kita dapatkan pada bagian akhir cerita, yaitu sewaktu Nara dan keluarganya melakukan ritual penanaman padi. Pada bagian ini, dengan tiba-tiba pengarang menghadirkan sejumlah tokoh berseragam, dan mengklaim bahwa tanah tersebut telah dibeli oleh Tuan James. Walau tidak digambarkan identitas secara jelas, tapi kemungkinan orang-orang berseragam ini adalah para polisi.

Para polisi ini membawa sertifikat tanah, yang menunjukkan bahwa tanah tersebut telah dibeli oleh si Tuan James ini. Tapi lagi-lagi, kita bingung. Di siapa tanah itu dibeli oleh Tuan James? Mengapa orangtua dan keluarga Nara, sebagai pemilik tanah, tidak pernah mengetahui, paling tidak mendengar isu, bahwa tanah mereka telah dibeli oleh si orang asing ini? Menghadirkan sebuah tokoh secara tiba-tiba, apalagi pada bagian klimaks dari cerita, seolah-olah mengabarkan kepada pembaca bahwa tak perlu ada keutuhan dalam sebuah cerita.

Cerita boleh ditulis begitu saja, dengan penokohan dan tokoh begitu saja, dan tidak apa-apa kalau tak ada logika dalam cerita itu. Ini tentu saja cara fatal bagi seorang pengarang dalam mengakhiri kisahnya. Apalagi, pada adegan inilah, sejumlah pembaca mengklaim bahwa cerpen ini membawa aura perlawanan terhadap para kapitalis. Menurut saya tidaklah demikian, karena pengarang tidak menggambarkan secara baik asal muasal terjadinya konflik ini. Konflik ini hadir begitu saja, tanpa ada sebab.

Dalam sebuah wawancara yang ditayang pada sebuah media massa, pengarang mengatakan bahwa yang lebih penting dari sebuah karya adalah pesan yang ingin disampaikan. Saya sependapat. Tapi jangan lupa bahwa kita sedang berhadapan dengan karya fiksi. Dan fiksi bukan tanpa logika.

Mengenai penokohan dan tokoh yang ditampilkan, akan menjadi lebih menarik jika kita melihat dari sisi kajian pascakolonial, yaitu bagaimana seorang yang pergi merantau, menempuh pendidikan formal, pulang ke kampung halamannya, lalu menyalahkan berbagai hal yang dilakukan orang-orang kampung tanpa melihat konteks kehidupan yang telah terbentuk. Tokoh Nara, bisa menjadi representasi dari orang-orang berpendidikan formal yang tidak lagi mengenal adat istiadat budayanya, dan selalu memandang dengan cara yang keliru apa-apa yang dilakukan orang kampung. Begitu juga dengan kedua orangtua Nara yang selalu memberikan petuah, seolah-olah Nara adalah seorang bocah yang baru mengetahui gemerlapnya dunia.

Dari sisi pendekatan objektif, saya melihat tidak begitu berfungsinya tokoh ini sebagai seorang berpendidikan yang pulang ke kampung halamannya, karena pendidikannya memang tidak berguna dalam konteks cerita. Orang-orang berpendidikan, sebagaimana yang selama ini kita yakini, akan selalu mengandalkan rasionalitas untuk memecahkan sebuah persoalan. Orang berpendidikan, seharusnya dibimbing oleh rasio-nya.

Dia akan mencari cara agar sebuah persoalan bisa diselesaikan tanpa mengorbankan berbagai pihak. Namun hal ini tidak kita dapatkan dalam cerita ini yang justru menyodorkan seorang tokoh utama berpendidikan formal. Kisah ini berakhir dengan adegan perang, letusan senjata, dan hal-hal semacam itulah.

Page 2 of 3
Prev123Next
ShareTweetShare

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Cerpen

Kosmas Rangkuti

Setiap hari sepulang sekolah, selepas makan siang, ia keluar lewat jendela dapur dan langsung berada di bawah pohon nangka di...

Read more
Tentang Suporter “Kampungan” di Transisi Sepakbola Modern
Esai

Tentang Suporter “Kampungan” di Transisi Sepakbola Modern

Gol tendangan geledek Ade Nene pada menit ke 93 masa injuri time, mengubah kedudukan menjadi 2-1 untuk keunggulan Perseftim (Flores...

Read more
Esai

George Orwell dan Peringatan Supaya Kita Jangan Jatuh Miskin

Dunia mungkin mengenal George Orwell (Eric Arthur Blair, 1903-1950) sebagai seorang sastrawan besar berkat novel alegoris politiknya Animal Farm dan...

Read more
Fidel Castro yang Mengagumi Ernest Hemingway dan Perjumpaan yang Remeh
Esai

Fidel Castro yang Mengagumi Ernest Hemingway dan Perjumpaan yang Remeh

Ernest Hemingway, raksasa sastra dunia berkebangsaan Amerika Serikat, pernah tinggal di negara Kuba selama dua dekade di sebuah perkebunan yang...

Read more
Esai

Belajar dari Pramoedya

Filsuf berkebangsaan Perancis, Rene Descartes, mewariskan pemikirannya yang terkenal, cogito ergo sum: “saya berpikir, maka saya ada.” Apa maksudnya? Rene...

Read more
Rumah Kami + Ayah Otoriter
Cerpen

Rumah Kami + Ayah Otoriter

KEHENINGAN HANYA ada di larut malam. Tapi karena saat itu kami biasanya telah lelap, maka kami jarang menikmati suasana hening...

Read more
Instagram Facebook Youtube Twitter Pinterest

Alamat Kami

Pustaka Bambu

Dusun Epubele, Desa Horowura, Kecamatan Adonara Tengah, Kabupaten Flores Timur, NTT.
E-mail : pustakabambu@gmail.com

© 2022 - Komunitas Pustaka Bambu

No Result
View All Result
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In