Secara umum kita memahami karya sastra sebagai sebuah dunia baru yang diciptakan oleh pengarang. Dalam dunia baru ini, pengarang menggunakan kata-kata untuk membangun alur cerita, tema, penokohan dan tokoh, latar cerita, dan berbagai hal lain, yang pada akhirnya mendukung keutuhan sebuah sebuah karya sastra.
Jika kita berupaya menilai sebuah karya sastra (jenis prosa), maka kata ‘utuh/keutuhan’ ini membawa kita pada sebuah pendekatan objektif, dan kita harus melihat kembali unsur intrinsik pembentuk karya tersebut. Tentu banyak perdebatan mengenai kekurangan dan kelebihan pendekatan ini. Namun, kita juga harus mengakui bahwa, untuk menilai sebuah karya secara lebih komplit, salah satu hal paling pertama yang kita lakukan adalah meneliti hal-hal dasar pembentuk karya sastra tersebut.
Dengan kata lain, untuk bisa menilai keberhasilan sebuah cerpen, misalnya, kita harus memastikan dulu apakah tulisan yang ada di depan kita itu cerpen atau bukan! Apakah novel yang kita baca itu merupakan karya sastra atau bukan! Seberapa berhasilkah logika dan alur yang dipakai sang pengarang untuk membentuk karyanya? Karena itu, menimbang dan memberi kritikan atas sebuah karya sastra dari sisi pendekatan objektif menjadi kerja yang penting, demi kemajuan sastrawan, karya sastra, dan pengembangan pemahaman masyarakat awam terhadap karya sastra.
Salah satu cerita pendek yang ingin saya bahas dalam artikel singkat ini adalah Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang karya Silvester Petara Hurit. Cerpen ini berwarna lokal. Karya-karya jenis ini banyak bermunculan dalam sastra Indonesia. Kemunculannya ini, tak hanya menunjukkan bahwa ada sebuah budaya lokal yang perlu diketahui, tapi juga perlu diperjuangkan eksistensinya.
Dalam elaborasinya, hampir selalu ada pertentangan antara dua kebudayaan, misalnya budaya luar berbenturan dengan budaya setempat. Budaya luar dilihat sebagai musuh yang harus diperangi, karena kehadirannya membawa dampak kurang menguntungkan bagi budaya-budaya lokal. Atau, bisa juga berupa sistem-sistem nilai yang dipaksakan, sehingga mengancam eksistensi budaya lokal.
Cerpen Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang karya Silvester Petara Hurit diterbitkan oleh Kompas pada 19 April 2020, dan menjadi salah satu karya yang masuk dalam Cerpen Nominasi Pilihan Kompas 2020. Pengarang berasal dari Flores Timur, dan lebih dikenal sebagai seorang esais, penulis lakon, dan sutradara teater. Beberapa cerpennya terbit juga di Tempo, Jawa Pos, dan beberapa media lainnya. Cerpen-cerpennya selalu mengisahkan tradisi-tradisi lokal yang kerap berubah dan tersisihkan karena perubahan zaman.
Cerita Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang ini mengisahkan kepulangan seorang tokoh bernama Nara ke kampung halamannya. Kisah dimulai dengan kutipan ingatan Nara akan pesan Ba Tala (kakek Nara), kepada ayah Nara di ladang beberapa puluh tahun lalu. Pada intinya, sang kakek berpesan kepada anak cucunya bahwa tanah tempat tinggal mereka, ladang mereka, telah menghidupi ratusan bahkan ribuan leluhur. Juga, si kakek menginginkan agar sang anak selalu menanam padi. Padi-padi yang ditanam ini tidak sama dengan beras-beras yang dibeli di toko-toko, karena memakan beras hasil tanam sendiri lebih mengenyangkan, demikianlah menurut sang kakek.
Pesan sang kakek ini seperti ‘mantra’ dan selalu mengingatkan Nara untuk pulang ke kampung halamannya. Dan ‘mantra’ ini berhasil. Nara akhirnya pulang ke Flores Timur, ke kampung halamannya.
Sang pemuda ini begitu kaget, karena saat memasuki kampung bersama sahabatnya, Boli, dia menemukan pohon-pohon beringin telah ditebang, tradisi berladang telah ditinggalkan, dan Nara mengutarakan beberapa hal yang mengganjal pikirannya. Dia menyayangkan betapa orang-orang kini lebih banyak menanam pohon mete, karena menurutnya, pohon mete itu rakus.
Nara kemudian bertemu kembali dengan kedua orangtuanya, dan sepanjang cerita, pemuda ini mendengar nasihat-nasihat dari mereka. Nara sebenarnya tidak ingin pulang ke kampung halamannya, karena kampung terlalu jauh dari kota, tempat di mana dia bisa mewujudkan segala cita-citanya. Pikiran mendua ini masih membayanginya bahkan sampai dia bertemu dengan orangtuanya. Sang ibu dan ayah menasihati dia agar tetap bertahan di tanah kelahirannya, sehinggga bisa meneruskan tradisi leluhur mereka. Kedua orangtua ini menuturkan nilai-nilai tradisional setempat, yang mengajarkan manusia untuk selalu dekat dengan alam, menghargai segala jenis makhluk hidup, dan hidup selaras dengan semesta.
Nara akhirnya mengalah, dan menetap di kampung halamannya. Pada suatu hari, mereka berencana menggelar upacara penanaman padi. Pada saat upacara itu berlangsung, datanglah sejumlah orang berseragam dan mengklaim bahwa tanah atau kebun tersebut telah dibeli oleh seorang bernama Tuan James. Seluruh anggota keluarga Nara kebingungan, karena mereka tidak tahu siapa yang menjual tanah tersebut. Perang mulut pun terjadi, dan berakhir dengan ‘letusan dan jerit pecah.’