No Result
View All Result
  • Login
Pustaka Bambu
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami
No Result
View All Result
Pustaka Bambu
No Result
View All Result

Fidel Castro yang Mengagumi Ernest Hemingway dan Perjumpaan yang Remeh

Ricko Blues by Ricko Blues
in Esai
A A
0
Fidel Castro yang Mengagumi Ernest Hemingway dan Perjumpaan yang Remeh

Fidel Castro dan Ernest Hemingway / Sumber : lithub.com

Ernest Hemingway, raksasa sastra dunia berkebangsaan Amerika Serikat, pernah tinggal di negara Kuba selama dua dekade di sebuah perkebunan yang dia sebut Finca Vigia.

Negara itu seperti tanah air kedua bagi Hemingway. Di sana, dia pun mendapatkan inspirasi menulis novel The Old Man and The Sea, salah satu mahakarya dalam dunia sastra yang wajib dibaca hingga kini. Georgia Fuentes, seorang nelayan Kuba, juga disebut-sebut sebagai model untuk karakter tokoh Santiago dalam novel legendarisnya tersebut.

Dalam sebuah buku kecil terbitan Ecosystem berjudul Ernest Hemingway, lelaki kelahiran 21 Juli 1899 itu disebut meninggalkan Kuba pada tahun 1960, setahun setelah Fidel Castro dan rekan revolusionernya Ernesto Che Guevara menggulingkan pemerintahan diktator yang didukung Amerika Serikat, Fulgencio Batista.

Castro dan Hemingway hanya bertemu sekali pada Mei 1960 dalam sebuah kontes memancing. Banyak foto dalam pertemuan itu, tapi hanya formalitas belaka. Majalah Life menertibkan salah satu foto itu. Hemingway memberinya piala.

“Saya seorang pemula dalam memancing,” kata Castro. “Anda seorang pemula yang beruntung,” jawab Hemingway. Pertemuan itu tentu tak begitu istimewa. Tapi kini, perjumpaan keduanya adalah seonggok sejarah dari perjalanan hidup dua orang berpengaruh; Hemingway sebagai seorang sastrawan besar dunia dan Fidel Castro, tokoh revolusioner yang mendirikan sebuah negara komunis tak jauh dari ‘halaman rumah’ negara kapitalis tulen, Amerika Serikat.

Sejarah itu bersajak, seperti kata Mark Twain. Perjumpaan para legenda di atas panggung kehidupan yang sama seringkali terjadi. Ronaldo bertemu Lionel Messi di Spanyol, misalnya. Soekarno, Semaoen dan Kartosoewirjo yang pernah tinggal seatap di rumah HOS Tjokroaminoto. Dan masih banyak contoh lagi bila mau diurutkan.

Kembali ke soal Hemingway.

Gabriel Garcia Marquez, seorang novelis Kolombia pencetus aliran realisme magis, juga pernah berjumpa dengan Hemingway di Kota Paris, Perancis. Marquez yang masih berusia 28 tahun melihat penulis idolanya itu, sudah berusia 59 tahun, berjalan di sisi seberang jalan, mengenakan celana koboy, kemeja wol dan topi pemain bola.

“Saya merasa kebingungan di antara dua kehendak yang bersitegang. Saya tidak tahu apakah saya harus mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya untuk kepentingan wawancara atau menyeberangi jalan raya untuk menunjukkan rasa kagum saya kepadanya,” tulis Marquez dalam sebuah buku antologi berjudul, ‘Menulis Itu Indah: Pengalaman Para Penulis Dunia.’

Karena kesulitan berbicara Bahasa Inggris, Marquez pun, “mencungkupkan kedua tangan saya di dekat mulut dan, seperti Tarzan di hutan, berteriak ke seberang jalan: Maesstrooo!”

Ernest Hemingway yang sudah tampak kegemukan, sadar teriakan dari seberang jalan itu untuknya. Ia mengangkat tangannya dan berteriak ke arah Marquez dalam bahasa Castillia dengan suara yang sangat kekanak-kanakan, “Adiooos, amigo!”

Tentu saja Hemingway tak tahu siapa pemuda belia yang berteriak di tengah keramaian kota itu. Akan tetapi, kelak, novel realisme magis Marquez yang paling berpengaruh, One Hundred Years of Solitude (100 Tahun Kesunyian) bersanding di rak-rak buku para pecinta sastra dunia, sejajar dengan The Old Man and The Sea atau A Farewell to Arms-nya Hemingway.

“Begitulah saya pertama kali bertemu dengannya,” tulis Marquez, dengan sedikit rasa bangga karena kala itu, seperti George Orwell, hidup terkatung-katung di Paris.

Bertahun-tahun kemudian, Marquez yang juga bersahabat baik dengan Fidel Castro, masuk ke dalam mobil sang presiden Kuba. Castro, menurut kesaksian Marquez, adalah seorang pembaca sastra yang suntuk.

Marquez menulis, “saya melihat sebuah buku kecil tergeletak di kursi dekat jaket berwarna merah.”

“Ini mahaguru saya, Hemingway,” ujar Castro kepada Marquez di dalam mobil orang yang nyawanya paling diincar oleh agen-agen CIA waktu itu.

Dunia memang sempit, jika dilihat dari peta atau globe. Luas, jika lautan dan bentangan langit yang dipandang. Tapi, gerak sejarah seolah ditata dengan baik oleh semacam entitas yang Hegel sebut sebagai, ‘Ruh’

Jika memang demikian, maka yang paling penting diingat adalah, jangan sekalipun mengabaikan perjumpaan-perjumpaan remeh dengan siapa saja, entah di jalanan, di pasar, di warung remang-remang, tempat prostitusi atau di lorong-lorong pertokoan. Tak ada yang bisa menebak masa depan kita dan orang-orang yang kita jumpai. Hargai saja perjumpaan itu.

Mungkin, kita akan mengenang perjumpaan itu bersama, seperti Castro dan Marquez mengenang Hemingway.

ShareTweetShare

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Sepanjang Lubang-Lubang Jalan
Cerpen

Sepanjang Lubang-Lubang Jalan

Orang-orang itu, mereka pikir aku gila. Padahal di waktu yang sama ini, istriku Agnes sedang pula mendekap rasa hebat, kekhawatirannya...

Read more
Di Hadapan Mesin ATM, Kecemasan Kita Berbeda
Esai

Di Hadapan Mesin ATM, Kecemasan Kita Berbeda

Gerai ATM memang bukan sekadar mesin uang. Ada tersimpan harapan sekaligus kecemasan di dalamnya. Keduanya berbeda dimensinya dalam diri setiap...

Read more
Fidel Castro yang Mengagumi Ernest Hemingway dan Perjumpaan yang Remeh
Esai

Fidel Castro yang Mengagumi Ernest Hemingway dan Perjumpaan yang Remeh

Ernest Hemingway, raksasa sastra dunia berkebangsaan Amerika Serikat, pernah tinggal di negara Kuba selama dua dekade di sebuah perkebunan yang...

Read more
Esai

Belajar dari Pramoedya

Filsuf berkebangsaan Perancis, Rene Descartes, mewariskan pemikirannya yang terkenal, cogito ergo sum: “saya berpikir, maka saya ada.” Apa maksudnya? Rene...

Read more
Bagaimana Martinus Menjadi Pegawai Honor
Cerpen

Bagaimana Martinus Menjadi Pegawai Honor

Hampir sepuluh tahun yang lalu Martinus menamatkan kuliahnya di Semarang. Berbekal ijazah di bidang desain komunikasi visual, pemuda tampan itu...

Read more
Tentang Suporter “Kampungan” di Transisi Sepakbola Modern
Esai

Tentang Suporter “Kampungan” di Transisi Sepakbola Modern

Gol tendangan geledek Ade Nene pada menit ke 93 masa injuri time, mengubah kedudukan menjadi 2-1 untuk keunggulan Perseftim (Flores...

Read more
Instagram Facebook Youtube Twitter Pinterest

Alamat Kami

Pustaka Bambu

Dusun Epubele, Desa Horowura, Kecamatan Adonara Tengah, Kabupaten Flores Timur, NTT.
E-mail : pustakabambu@gmail.com

© 2022 - Komunitas Pustaka Bambu

No Result
View All Result
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In