Hampir sepuluh tahun yang lalu Martinus menamatkan kuliahnya di Semarang. Berbekal ijazah di bidang desain komunikasi visual, pemuda tampan itu pulang ke Lembata dengan mimpi ingin membuat banyak karya visual di kampung halamannya. Selama rentang waktu itu, dia membuat beberapa karya secara independen, tapi tak semuanya bisa menghasilkan banyak uang, dan membuat dia bertahan hidup. Semakin usianya bertambah, semakin dia menatap masa depan dengan samar-samar. Yang tersisa darinya adalah segenggam idealisme.
Martinus tinggal sendiri bersama ibunya yang sudah tua. Ayahnya, seorang pensiunan pegawai negeri meninggal dunia saat dia berusia 33 tahun. Dua orang kakak laki-lakinya sudah menikah dan punya kehidupan sendiri.
Martinus sangat mengasihi ibunya. Untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah, dia membuka jasa pembuatan foto dan video. Biasanya, pasangan yang ingin menikah memakai jasanya untuk mengabadikan momen bahagia mereka. Tapi permintaan semakin sedikit, bahkan tak ada sama sekali yang memakai jasanya lagi. Dia harus putar otak untuk bisa melunasi utang, membayar tagihan listrik dan membeli bahan makanan di pasar.
Suatu pagi, seorang sahabat karibnya datang ke rumah dengan seragam pegawai negeri. Martinus baru saja bangun dari tidur setelah begadang semalaman mengedit video.
“Ada tes pembukaan pegawai honorer di kantor bupati,” ajak Lambertus dengan antusias, berharap ada jawaban positif dari koleganya itu.
“Kenapa harus saya yang diajak?” ketus Martinus, mengusap-usap kantung matanya yang bengkak karena kurang tidur, sembari menghidangkan dua gelas teh panas di meja.
“Ya, saya sudah sampaikan ke panitia seleksi. Karena kamu punya kemampuan di dunia fotografi dan videografi, kamu jadi prioritas. Ikut tes hanya formalitas,” Lambertus tahu, tidak mudah membujuk sahabatnya menjadi pegawai kantoran. Keduanya tumbuh besar bersama di kota kecil itu. Mulanya, mereka tumbuh sebagai orang bebas dan tak suka diatur, bahkan dalam urusan pekerjaan sekalipun. Bagi mereka bekerja harus sesuai passion. Akan tetapi, kebutuhan hidup yang berubah sering juga mengubah rencana hidup. Lambertus merasakan hal itu ketika setahun lalu menikah setelah pacarnya sudah berbadan dua.
Mama Veronika, ibu Martinus, yang sedang mencuci piring di dapur, tiba-tiba saja keluar dan menyergap, “ikut tes sudah, Tinus. Supaya ada penghasilan tetap.”
Lambertus mengangguk setuju, mencoba meyakinkan Martinus kalau dia akan jadi prioritas dalam seleksi pegawai kantoran.
Di ujung meja, Martinus menarik napas dalam-dalam. Dia seperti terdesak dari dua sisi, tuntutan hidup dan keengganannya bekerja sebagai pegawai kantoran. Dia menyeruput segelas teh panas, membakar sebatang rokok dan, “ya, lihat saja nanti.”
Mereka berhenti membahas soal seleksi jadi pegawai kantoran. Keduanya sama sama tahu jawaban cuek, “ya, lihat saja nanti,” hampir sama dengan, “saya tidak akan bekerja sebagai pegawai honorer di kantor pemerintah. Apa pun alasannya.”
Menjelang akhir tahun, di tengah sepinya permintaan jasa pembuatan foto dan video, Martinus jatuh cinta pada seorang gadis Adonara. Dia dan gadis mungil itu bertemu di sebuah pusat kesehatan masyarakat. Gadis berkulit putih itu bekerja di sana sebagai dokter umum. Dokter itu tahu Martinus hanyalah seorang videografer di sebuah kampung kecil, seorang pekerja lepas yang sudah kepala tiga. Di tempat mereka tinggal, membicarakan tentang pernikahan adalah membicarakan tentang uang, tentang finansial kedua insan.
“Saya akan banting tulang bekerja apa saja,” kata Martinus yang sudah 35 tahun, meyakinkan kekasihnya itu, bahwa mereka bisa hidup bersama sampai maut memisahkan.
“Jangan hanya omong. Buktikan.” Gadis itu melihat ada kesungguhan dari sorot mata Martinus. Apalagi setelah dua minggu mereka kencan, Martinus akhirnya memberanikan diri membawa kekasihnya itu bertemu ibunya di rumah.
“Kalau kamu serius dengan dia, mama pasti dukung,” ujar Mama Veronika di hadapan dua sejoli yang sedang merencanakan masa depan itu.
Sekali seminggu, Martinus menjemput kekasihnya tinggal di rumahnya, sembari menikmati akhir pekan bersama. Pada malam hari ketika tubuh gadis itu jatuh ke pelukan, yang Martinus pikirkan hanyalah, bagaimana caranya mulai mengumpulkan uang dan menabung. Ungkapan kasih sayang dan cinta memang bisa membuat mereka tetap bersama. Tapi, uang, pikirnya matang-matang, bisa membuat mereka tetap hidup.
Suatu malam, Martinus sedang duduk di teras rumahnya sendirian. Mama Veronika, tak seperti biasanya, memanggil anak lelakinya itu duduk di meja makan. Tersedia roti lapis, telur goreng dan teh jeruk panas, hidangan yang mengikuti selera anak lelaki bujangan itu.
“Kenapa tidak cari pekerjaan tetap sudah, Tinus?” ibunya memulai pembicaraan.
“Kerja apa?”
“Daripada luntang lantung begini. Sudah berani bawa orang punya anak perempuan itu artinya sudah serius. Harus segera cari pekerjaan tetap. Mama sudah tua begini.”
Sudah sangat lama Martinus tak mendengar nasihat ibunya. Rasanya seolah menusuk sampai sum sum tulang belakang, tapi tak ada nasihat seorang ibu yang tak dilatarbelakangi rasa cinta.
Dia menyeruput teh jeruk panas di depannya. Dahinya mengernyit, memikirkan permintaan perempuan yang sangat dia sayangi itu.
“Memangnya saya harus kerja apa?
“Kemarin Lambertus datang menawarkan pekerjaan di kantor pemerintah. Itu tawaran yang bagus. Sebaiknya pikirkan baik-baik, dan terima saja. Cari pekerjaan sekarang susahnya minta ampun. Banyak sarjana pulang malah jadi beban orangtua,” ibunya mendengus panjang. Dia menarik kursi dan duduk di samping putranya.
“Sudah saatnya kamu punya pekerjaan tetap,” suara Mama Veronika lebih lembut.
Martinus membatu duduk di kursi, tangan kirinya menjulur ke depan, tangan lainnya mengacak-acak rambut seperti orang sedang sakit kepala. Ada pergolakan batin luar biasa, pikirannya melayang sembari membuat perhitungan sebelum mengambil keputusan.
Apa saya harus bekerja sebagai tenaga honorer di kantor pemerintah? Apakah saya harus tinggalkan mimpi-mimpi saya sebagai sutradara film? Apakah harus sekarang keputusan itu diambil? Apakah keputusan ini tidak hanya menguntungkan atau merugikan untuk saya sendiri, tapi juga untuk pasangan saya? Apakah ini satu-satunya cara membuat seorang ibu bahagia dengan anaknya? Bagaimana kalau saya tetap bekerja sebagai pekerja lepas? Bagaimana kalau saya bekerja sebagai pegawai honorer dan tetap memproduksi karya film? Dan rupa rupa pertanyaan dan pertimbangan lainnya….
Ibunya menanti jawaban.
“Ya, nanti saya hubungi lagi Lambertus, apakah masih ada lowongan pekerjaan di sana,” ucapnya singkat, segera ingin menutup percakapan itu.
Sehari setelahnya, dia menghubungi Lambertus dan menanyakan tentang lowongan pekerjaan sebagai pegawai honorer.
“Masih dibuka. Segera masukkan berkas administrasinya saja.” tegas Lambertus di ujung telepon.
Seminggu kemudian, Martinus menjemput kekasihnya di pelabuhan, dengan celana kain hitam dan baju kemeja berwarna putih. Sepatu pantofel.
Dari kejauhan, gadis itu tersenyum, juga heran dengan penampilan baru calon tulang punggungnya itu.
“Sayang, bagaimana menjadi pegawai honor?”
Giliran Martinus yang melempar senyum, memegang tangan kekasihnya erat-erat dan menuntunnya pulang ke rumah. Dia hanya membatin; mau tidak mau, harus mau.
November 2022