No Result
View All Result
  • Login
Pustaka Bambu
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami
No Result
View All Result
Pustaka Bambu
No Result
View All Result

Tumbal

Kopong Bunga Lamawuran by Kopong Bunga Lamawuran
in Cerpen
A A
1
Tumbal

Lukisan karya Mariam Akhobadze

Pagi itu, setelah menggosok gigi dan duduk bersandar pada sebuah kursi di teras rumah, dia mendengar teriakan guru Konggor, seorang pria tinggi kurus, dari rumah sebelah, “Apa yang kau lakukan di sini, Guna?” Sambil menjulurkan kedua tungkainya ke depan, Guna berujar seolah berbisik kepada diri sendiri, “Apa yang akan kulakukan di sini?”

Apa yang kulakukan di sini? Dia sungguh memiliki keinginan untuk menjelaskan kepada guru itu perihal semua yang telah dialaminya, sampai pada hujungnya harus menghempaskannnya di tanah kelahirannya ini bagai orang asing. Dia berkeinginan menjelaskan bahwa semua yang telah terjadi di luar kuasanya. Bahwa sebagai mahasiswa, dia memiliki rencana-rencana maha ampuh yang harus dijalankan; bahwa selama tiga bulan terakhir, lamaran-lamaran telah dikirimkan dan selalu tanpa panggilan. Keinginan menjelaskan itu telah lama pupus.

Dengan tatapan enggan, Guna memandang sehelai daun pohon nangka yang jatuh dan mengenai ujung jari kakinya. Diambilnya daun gugur itu, dan tanpa ditimang-timang, diremasnya sampai remuk. Dilakukannya hal itu seolah dia memendam kebencian tak terkira terhadap daun, pohon, bunga, terhadap apa yang hidup. Sehelai lagi daun kini jatuh tak jauh dari tungkainya. Daun itu mengembalikan bayang-bayang pahit yang mengecupnya, dan untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasa seluruh perjalanan hidupnya hanya sekedar menghambur-hamburkan garam ke lautan luas.

“Apa yang akan kaulakukan di sini, Guna?” Suara itu kembali membuyarkan lamunannya. Pria kurus itu telah berdiri di depannya, menggulung tembakau dan bersiap-siap menyulutnya. Guna tak menyahut. Ditatapnya lelaki itu tanpa kata, seolah semua pertanyaan telah terjawab dengan sekali tatap. Sama seperti kemarin, ataupun dua hari yang lalu, ataupun seminggu yang lalu, kehadiran pria kurus ini seolah membawa berkilo-kilo benda padat untuk kemudian diletakkan di atas pundaknya.

“Duduklah, Guru.” Guna menawarkan. Kemudian lanjutnya dengan nada teriakan, “Kopi!”

Orang-orang, bergerombol, telah pulang dari gereja. Setelah bertegur sapa seadanya, orang-orang bergerombol itu menghilang dan kembali sunyi. Keduanya memandang ke depan tanpa saling mengiraukan satu sama lain, seolah seorang menganggap yang lainnya adalah orang asing. Guna ingin memulai percakapan―tentang apa saja―namun sunyi telah merenggut berbaris-baris kalimat yang telah tersusun rapi di batok kepalanya. Kedatangannya tiga bulan yang lalu di tanah kelahirannya ini, bagi sebagian orang, adalah jawaban atas doa yang selama ini dipanjatkan dengan hati yang tulus. Bagaimana tidak! Dirinya adalah satu dari sedikit orang yang telah menyandang gelar, yang pada pembacaan nilai terakhir, telah dikukuhkan sebagai seorang sarjana pendidikan. Dia adalah satu-satunya anak dalam klannya yang telah memperoleh gelar setinggi itu, diwisudakan dengan pesan kakek masih terngiang-ngiang di telinganya: “Keluarga ini akan menjual seluruh harta warisan, asal kamu memperoleh gelar”.

Dari dalam rumah, muncul Ina Dai membawakan dua cangkir kopi. Setelah meletakkan dua cangkir kopi itu di atas meja, Ina Dai kembali ke dalam rumah.

“Sudah kaukirimkan?” Pria kurus itu mencoba memecah kesunyian. Guna masih membisu. Entah memikirkan bahwa meremukkan daun lebih membuat dirinya nyaman.

“Dengar,” Guru itu melanjutkan setelah menyeruput kopinya. “Aku bisa membicarakan hal ini dengan kepala kami. Dia bisa mengerti situasi ini. Pengabdianku di sekolah itu sudah lima belas tahun. Saya yakin dia bisa mempertimbangkannya. Tapi apa kamu sudah mengirimkannya?”

“Tolonglah. Jangan tanyakan hal itu,” sanggah Guna.

“Oh, ayolah. Terbukalah sedikit terhadap dunia, terhadap orang-orang yang sungguh peduli dengan keadaanmu ini. Kawan-kawan seangkatanmu telah memperoleh hidup yang mapan. Reot, pelawak itu, tahun ini adalah tahun keduanya mengabdi di sekolahku mengajar. Tapi kutahu dia tidak semelek dirimu dalam urusan mengajar. Tinggal bagaimana kamu bisa diterima di salah satu sekolah. Semua orang mengharapkan itu. Apalagi keluargamu. Besok aku akan menemui kepala kami. Kukatakan saja bahwa orang dengan kemampuan sepertimu akan lebih berguna jika berada di ruangan kelas. Dia harus mempertimbangkan secara manusiawi. Soal status universitas sialan itu soal lain.”

Guna masih belum beri reaksi. Mulutnya terlalu kaku untuk membahasakan keinginan, harapan, cita-cita, tentang dunia impiannya yang selama tiga bulan terakhir ini belum tercapai. Dengan diam diakuinya bahwa ada terkandung kebenaran di balik ungkapan singkat guru kurus ini. Apa yang diutarakan pria di sampingnya itu adalah jalan keluar terbaik. Bahwa mau tidak mau, suka tidak suka, Tuhan telah menetapkan garis takdir―yang cukup pahit―untuk dikecupi. Dan takdir itu di luar kemampuannya sebagai seorang lulusan sarjana, apalagi hanya sebagai manusia biasa. Namun kalau dituruti, batinnya, artinya dia telah kalah. Kalah-sekalah-kalahnya! Kekalahan inipun bukanlah kekalahan biasa. Bukan kekalahan seorang pemuda sewaktu berkelahi dengan seorang pemuda lainnya. Ini adalah kekalahan prinsip. Guna menyadari itu sejak awal kedatangan guru itu pagi tadi. Berdasar usul itu, sekiranya dia diterima, batinnya, dia telah terlempar dari lingkup keyakinan yang selama ini dipertahankannya. Lalu dengan tiba-tiba, untuk pertama kalinya, rasa rendah diri menghinggapinya.

“Aku merasa bimbang sekaligus takut. Dan perasaan itu begitu erat kali ini, seolah muncul begitu saja dari hati.” Guna menggumam pelan seolah kepada dirinya sendiri. “Tiap kali kehadiranmu di sini telah memupuk sedikit demi sedikit rasa tak berdayaku.”

“Dunia ini sederhana, Gun. Namun kompleks.” Guru Konggor menyeruput lagi kopinya, meletakkan cangkir itu, kemudian berujar sambil menatap mata lawan bicaranya. “Dan aku telah berpengalaman selama lima belas tahun menghadapi kesederhanaan sekaligus kekompleksan dari dunia pendidikan kita ini. Tidak ada yang istimewa dari dunia pendidikan kita. Semuanya sekedar mengisi perut dan menghidupi keluarga. Apa yang lebih hebat dan indah selain dari mengisi perut dan menghidupi keluarga?”

“Aku tak ingin membahas hal itu.”

“Ya. Karena memang seperti itu. Apakah kamu tidak diajarkan hal itu? Apakah kamu tidak diajarkan bahwa dunia pendidikan kita adalah dunia yang paling hancur dan korup?”

“Ah, ayolah. Tidak sebusuk itu dunia ini.”

“Itu yang kau ucapkan setelah berkali-kali penolakan demi penolakan kau terima? Tapi baiklah. Tak usah kita soalkan hal ini. Kita hanyalah orang-orang kecil, dan mungkin maksudmu, kita juga harus mempersoalkan hal-hal yang kecil saja. Baiklah. Besok akan aku temui kepala kami. Lusa kamu boleh menghadap. Tapi sudah kamu kirimkan berkasmu itu?”

Kabut dalam pikirannya makin menebal. Ini peringatan terakhir, sekaligus tanda akan munculnya kekalahan paling akhir. Setelah menyeruput kopinya, dalam tatapan hampa kepada guru itu, dia mengangguk.

Page 1 of 3
123Next
ShareTweetShare

Comments 1

  1. Dominikus Palihama says:
    3 years ago

    Idealis tapi harus rasional. Banyak sekali teman-teman yang mengalami seperti Guna, ditolak karena alasan selembar pengakuan Dirjen Dikti bukan hanya PGRI Kupang, IKIP Budi Utomo Malang juga pernah. Tapi salut terhadapa Tokoh Kepala Sekolah, walaupun ruangannya dipaksakan tapi beliau masih memakai Akal Sehatnya, tentu karena Keseharian seorang Guna yang sopan dalam bertutur dan bertindak.

    Reply

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Tumbal
Cerpen

Tumbal

Pagi itu, setelah menggosok gigi dan duduk bersandar pada sebuah kursi di teras rumah, dia mendengar teriakan guru Konggor, seorang...

Read more
Di Hadapan Mesin ATM, Kecemasan Kita Berbeda
Esai

Di Hadapan Mesin ATM, Kecemasan Kita Berbeda

Gerai ATM memang bukan sekadar mesin uang. Ada tersimpan harapan sekaligus kecemasan di dalamnya. Keduanya berbeda dimensinya dalam diri setiap...

Read more
Sepanjang Lubang-Lubang Jalan
Cerpen

Sepanjang Lubang-Lubang Jalan

Orang-orang itu, mereka pikir aku gila. Padahal di waktu yang sama ini, istriku Agnes sedang pula mendekap rasa hebat, kekhawatirannya...

Read more
Cerpen

Kosmas Rangkuti

Setiap hari sepulang sekolah, selepas makan siang, ia keluar lewat jendela dapur dan langsung berada di bawah pohon nangka di...

Read more
Fidel Castro yang Mengagumi Ernest Hemingway dan Perjumpaan yang Remeh
Esai

Fidel Castro yang Mengagumi Ernest Hemingway dan Perjumpaan yang Remeh

Ernest Hemingway, raksasa sastra dunia berkebangsaan Amerika Serikat, pernah tinggal di negara Kuba selama dua dekade di sebuah perkebunan yang...

Read more
Bagaimana Martinus Menjadi Pegawai Honor
Cerpen

Bagaimana Martinus Menjadi Pegawai Honor

Hampir sepuluh tahun yang lalu Martinus menamatkan kuliahnya di Semarang. Berbekal ijazah di bidang desain komunikasi visual, pemuda tampan itu...

Read more
Instagram Facebook Youtube Twitter Pinterest

Alamat Kami

Pustaka Bambu

Dusun Epubele, Desa Horowura, Kecamatan Adonara Tengah, Kabupaten Flores Timur, NTT.
E-mail : pustakabambu@gmail.com

© 2022 - Komunitas Pustaka Bambu

No Result
View All Result
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In