No Result
View All Result
  • Login
Pustaka Bambu
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami
No Result
View All Result
Pustaka Bambu
No Result
View All Result

Kosmas Rangkuti

Ricko Blues by Ricko Blues
in Cerpen
A A
0

Sumber foto : kibrispdr.org

Setiap hari sepulang sekolah, selepas makan siang, ia keluar lewat jendela dapur dan langsung berada di bawah pohon nangka di belakang rumah. Dengan lincah ia memanjat pohon itu, duduk di salah satu dahannya dan mulai mengelamun. Mengelamun apa saja dan siapa saja.

Kosmas Rangkuti, seorang bocah belasan tahun yang doyan mengelamun, berambut kriwil, berkulit gelap. Ia pengelamun yang parah. Di mana saja ada kesunyian, pikirannya mulai keluyuran ke mana-mana, terbang bak layang-layang putus dan tak tahu mendarat di mana. Berjam-jam ia bisa bertahan mengelamun.

Dari garis keturunan keluarga tidak ada yang suka mengelamun seperti Kosmas. Bapaknya, Thomas Rangkuti, yang tidak suka dengan kelakuan anaknya ini, cuma seorang buruh bangunan. Ibunya kadang membuat kue dan menyuruh anaknya berjualan kue keliling kampung.

Kue yang dijual selalu habis bukan karena laku terjual, tetapi karena Kosmas sendiri yang menghabiskannya dengan membagi-bagikannya kepada teman-teman seperjuangan.

“Kosmas Rangkuti, turun dari pohon, melamun terus…!” teriak Thomas kalau melihat anaknya siang bolong sudah di atas pohon nangka sedang keluyuran di alam khayalnya.

“Cari nangka masak, bapak,” begitulah jawaban Kosmas kalau ditegur bapaknya. Padahal, warga sekampung juga sudah tahu kalau pohon nangka di belakang rumahnya tidak pernah berbuah.

Menariknya, setelah mengelamun, ia akan pergi ke teman-temannya dan menceritakan lamunannya itu. Mulai dari kepala desa sampai tukang ojek pernah dilamunkannya.
Mulanya, ia duduk di atas sebuah batu besar dan yang lain duduk di tanah mengelilingi si pencerita. Dan ia mulai bercerita: Istri Pak Joko itu sudah tidak cantik lagi. Badannya melebar tak beraturan. Lemak di mana-mana. Lima orang anak manusia sudah keluar dari perutnya ; sudah besar-besar mereka; semuanya perempuan dan cantik-cantik. Mungkin kecantikannya sudah disedot oleh kelima putrinya.

Serentak mereka semua tertawa terkikik, mengguling-gulingkan badan di tanah. “Karena istrinya sudah tidak cantik lagi,” lanjutnya, “Pak Joko, kepala desa tercinta kita beralih ke istri orang. Dengan mobil Avanza yang dia beli dari uang hasil korupsi, dibawanyalah seorang tanta empat puluhan tahun makan di restoran Padang. Setelah kenyang mereka berdua nginap semalam di Hotel Mawar…. Tebak sendiri episode selanjutnya.”

Huuuu…mereka menggelengkan kepala mendengar kisah lamunan Kosmas. “Besoknya lagi, suami dari perempuan yang dibawa Pak Joko itu ngamuk di rumah: anjing, bangsat, sialan, laki-laki buaya, suami laknat, buat apa kamu semalam dengan istriku?”
Sebulan setelah Pak Joko yang tercinta itu dililit masalah perselingkuhan dan penyalahgunaan uang bantuan pemerintah, istrinya menangis sejadi-jadinya di depan rumah. Kelima putrinya juga menangis tersedu. Aksi ‘menangis’ mereka ini menciptakan sebuah orkes yang indah sehingga ditonton orang sekampung termasuk Kosmas dan teman-teman.

Sejak itu lamunan Kosmas jadi bahan cerita yang paling ditunggu-tunggu oleh semua kalangan, bukan cuma anak-anak seusianya tetapi juga orang dewasa. Ia jadi tenar di kampung. Pengelamun pohon nangka, ahli nujum cilik, malaikat kecil pembawa berita. Begitu banyak nama julukan yang melekat pada Kosmas Rangkuti.

Bapaknya gusar, takut kalau lamunan anak ini bisa membawa petaka untuk keluarga. “Kosmas, mengalir dalam darahmu, darah bapak dan mama, tetapi kami tidak suka mengelamun di atas pohon nangka. Bapak akan tebang pohon itu!”

Kosmas hanya tertunduk lesu, matanya nanar memandang pohon inspirasinya ditebang. Ia sedih bukan main. Sehari hanya makan sesendok nasi. Mogok bicara, mogok sekolah dan mogok mandi.

***

Di depan rumah keluarga Thomas Rangkuti ada sebuah rumah berlantai dua. Jendela pada lantai dua rumah itu selalu terbuka. Lampu di dalam kamar itu selalu dinyalakan. Seorang gadis muda sesekali muncul pada bingkai jendela memandang bulan purnama.
Orang tua gadis muda itu membuka bengkel di beranda. Kosmas suka memompa ban sepeda yang ia kempeskan sendiri. Ia tidak akan berhenti memompa ban sepeda sebelum gadis itu muncul untuk suatu keperluan. Kalau gadis itu muncul untuk membuang sampah misalnya, ia pun mencuri pandang mengamatinya.

Pada malam harinya Kosmas duduk dalam kegelapan mengamati gadis cantik itu di bingkai jendela. Seperti biasa ia membiarkan kebiasaannya: mengelamun tentang gadis itu. Ia naik dengan tangga ke kamar gadis itu. Ia disambut dengan senyum manis. Mereka bercakap-cakap. Rupanya dia, gadis montok itu, kesepian. Ia menutup jendela kamarnya dan Kosmas langsung menciumnya, membuka pakaiannya. Lampu dimatikan.
Dan setelah itu…

Begitulah yang dilakukan Kosmas setiap malam, hingga bapaknya menyangka kalau anaknya sudah tidur lelap di kamarnya. Padahal ia sedang memandang jendela kamar gadis itu. Keesokan harinya ia dikelilingi teman-temannya di bawah pohon beringin, dan mulailah ia menceritakan lamunannya tentang gadis semalam: Surti itu gadis yang paling cantik di kampung ini.

Dalam darahnya mengalir deras darah Jawa dan Makassar, tetapi kenapa nyasar di kampung ini, yang dikelilingi bukit, hutan, dan sungai-sungai besar? Orang-orangnya saja berbadan tegap hitam, keriting seperti saya. Mungkin kebaikan dan kejujuran orang-orang kampunglah yang membuat orang tua Surti tinggal di sini.

Sesudah berkata demikian, Kosmas berdiri dengan wajah sedih. Bola matanya menerawang jauh sementara teman-temannya yang menjadi audiens terheran-heran melihat wajah si pengelamun.

“Kosmas, kenapa?”

Matanya lembab, berkaca-kaca.

“Tidak semua orang di sini baik dan jujur,” lanjutnya, “tadi malam sepulang dari kamar Surti, berfantasi dengan tubuh mulusnya, saya curiga kok lampu di kamarnya belum dimatikan. Padahal sudah larut malam. Seorang laki-laki masuk secara paksa ke kamarnya. Mencium-cium wajah, leher, dan tubuh Surti. Ia berteriak-teriak, menangis ketakutan. Laki-laki itu dengan kesetanan menggerayangi Surti yang sudah tak berbusana lagi. Setelah itu sebuah belati menembusi tubuh Surti hingga tewas.”

Mereka termangu mendengar cerita lamunan Kosmas, seolah tak percaya. Sekarang mereka tinggal menunggu waktunya kalau-kalau ada yang terjadi pada Surti.

Malamnya, ia duduk lagi dalam kegelapan mengamati gadis pujaannya mengibaskan rambut di bingkai jendela kamar. Ia mengelamun lagi: masuk ke kamar menggunakan tangga melalui jendela. Bercakap-cakap sebentar, berciuman, berpelukan dan…

“Ahhhh!” Lamunannya musnah. Hilang konsentrasinya saat ia melihat ada seorang laki-laki di dalam kamar Surti. Ia bercakap-cakap dengan Surti di atas tempat tidur. Tak lama kemudian laki-laki itu menutup jendela kamar dengan wajah sumringah.

“Tidak mungkin, itu kan bapaknya sendiri. Mau apa dia malam-malam begini di kamar Surti. Jangan-jangan dia mau membunuh Surti!”

Ia tidak tahu apa-apa dan yang dia tahu hanya mengelamun, berkhayal, berkhayal, bermimpi dan….*

ShareTweetShare

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Esai

George Orwell dan Peringatan Supaya Kita Jangan Jatuh Miskin

Dunia mungkin mengenal George Orwell (Eric Arthur Blair, 1903-1950) sebagai seorang sastrawan besar berkat novel alegoris politiknya Animal Farm dan...

Read more
Esai

Keutuhan dan Warna Lokal Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang karya Silvester Petara Hurit – Kritik Sastra

Secara umum kita memahami karya sastra sebagai sebuah dunia baru yang diciptakan oleh pengarang. Dalam dunia baru ini, pengarang menggunakan...

Read more
Rumah Kami + Ayah Otoriter
Cerpen

Rumah Kami + Ayah Otoriter

KEHENINGAN HANYA ada di larut malam. Tapi karena saat itu kami biasanya telah lelap, maka kami jarang menikmati suasana hening...

Read more
Cerpen

Kosmas Rangkuti

Setiap hari sepulang sekolah, selepas makan siang, ia keluar lewat jendela dapur dan langsung berada di bawah pohon nangka di...

Read more
Bagaimana Martinus Menjadi Pegawai Honor
Cerpen

Bagaimana Martinus Menjadi Pegawai Honor

Hampir sepuluh tahun yang lalu Martinus menamatkan kuliahnya di Semarang. Berbekal ijazah di bidang desain komunikasi visual, pemuda tampan itu...

Read more
Esai

Belajar dari Pramoedya

Filsuf berkebangsaan Perancis, Rene Descartes, mewariskan pemikirannya yang terkenal, cogito ergo sum: “saya berpikir, maka saya ada.” Apa maksudnya? Rene...

Read more
Instagram Facebook Youtube Twitter Pinterest

Alamat Kami

Pustaka Bambu

Dusun Epubele, Desa Horowura, Kecamatan Adonara Tengah, Kabupaten Flores Timur, NTT.
E-mail : pustakabambu@gmail.com

© 2022 - Komunitas Pustaka Bambu

No Result
View All Result
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In