No Result
View All Result
  • Login
Pustaka Bambu
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami
No Result
View All Result
Pustaka Bambu
No Result
View All Result

George Orwell dan Peringatan Supaya Kita Jangan Jatuh Miskin

Ricko Blues by Ricko Blues
in Esai
A A
0

Foto : Pustaka Bambu

Dunia mungkin mengenal George Orwell (Eric Arthur Blair, 1903-1950) sebagai seorang sastrawan besar berkat novel alegoris politiknya Animal Farm dan 1984. Buku yang disebut pertama terlampau masyhur hingga direkomendasikan untuk dibaca sebelum kita meninggal dunia.

Lalu, novelnya 1984 merupakan sebuah ‘satire tajam, menyajikan gambaran tentang luluhnya kehidupan masyarakat totalitarian masa depan yang di dalamnya setiap gerak warga dipelajari.’

Sekarang, pada abad 21 ini, adalah sesuatu tidak mencengangkan lagi bila negara punya kemampuan menyadap kehidupan privasi seseorang dengan teknologi tingkat tinggi. Tapi, Orwell jauh  hari sudah memprediksinya di dalam novel 1984, terbit pada Juni 1949, era di mana alat bernama teleskrin, polisi pikiran dan mikorofon tersembunyi, seperti digambarkan dalam 1984, adalah sesuatu yang tidak diprediksi orang banyak.

Akan tetapi, reputasi Orwell dalam jajaran dedengkot penulis besar dunia, tidak turun dari langit berbintang dan mendarat di padang rumput hijau yang indah permai. Sebaliknya. Riwayat hidup George Orwell adalah riwayat orang-orang kalah yang mencoba bangkit dengan potensi yang dimiliki dan segenggam kepercayaan akan keberuntungan. Sisi lain kehidupannya ini dia lukiskan dengan indah di dalam buku down and out in Paris and London (terpuruk dan melarat di Paris dan London).

Di dua kota metropolitan ini, Orwell pernah hidup melarat. Di Paris, sebagai tukang cuci piring. Di London, sebagai pengemis. Ada yang menyebutkan, saat berada di Paris, Orwell tinggal hanya beberapa blok saja dari apartemen Ernest Hemingway, raksasa sastra berkebangsaan Amerika. Tapi keduanya beda nasib. Penulis The Sun Also Rises itu pindah ke Paris pada tahun 1921 bersama istri pertamanya, Hadley.

Tahun 1923, dua pasangan muda ini pindah ke Toronto saat Hadley melahirkan anak pertama Ernest. Kemudian kembali lagi ke Paris bersama si bayi pada Januari 1924. Di tahun 1927, Setelah bercerai dengan Hadley karena kedapatan selingkuh, Ernest menikah lagi dengan Pauline Pfeiffer, selingkuhannya, dan meninggalkan Paris tahun berikutnya.

Lalu, apa yang dilakukan Orwell pada periode itu?

Dia tinggal di Hotel des Trois Moineaux. Jangan salah dulu. Hotel yang dia maksud tidak seperti yang bisa dibayangkan sekarang. Di dalam buku semi autobiografinya itu, dia menulis dengan polos;

Hotel ini bangunan reyot lima lantai yang disekat-sekat menjadi empat puluh kamar dengan dinding kayu. Kamar-kamarnya sempit, pengap, dan selalu kotor, karena di situ tidak ada pelayan pembersih kamar. Madame F, pemiliknya, tak punya waktu untuk menyapu kamar-kamarnya. Dinding-dinding kamar itu setipis kayu korek api, dan untuk menutupi celah-celahnya ditempelkan berlapis-lapis kertas merah muda, yang kemudian terkelupas dan menjadi sarang kutu busuk yang tak terhitung banyaknya. 

Kita kemudian tahu Orwell tidak pernah meratapi kemelaratannya. Tulisannya dalam buku ini menjadi istimewa karena interaksi dia dengan orang-orang sekitar yang senasib. Orwell secara mendetail menggambarkan kondisi yang dilihat dan dirasakan sebagai masyarakat kelas bawah yang terpuruk.

Suatu hari di musim panas kudapati uangku tinggal 450 franc. Di luar itu tidak ada lagi, kecuali 36 franc per minggu, upah yang kuperoleh dari memberikan les Bahasa Inggris. Sampai saat ini aku belum memikirkan masa depan. Tetapi, kini aku menyadari, aku harus segera melakukan sesuatu. 

Page 1 of 2
12Next
ShareTweetShare

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Tumbal
Cerpen

Tumbal

Pagi itu, setelah menggosok gigi dan duduk bersandar pada sebuah kursi di teras rumah, dia mendengar teriakan guru Konggor, seorang...

Read more
Rumah Kami + Ayah Otoriter
Cerpen

Rumah Kami + Ayah Otoriter

KEHENINGAN HANYA ada di larut malam. Tapi karena saat itu kami biasanya telah lelap, maka kami jarang menikmati suasana hening...

Read more
Cerpen

Kosmas Rangkuti

Setiap hari sepulang sekolah, selepas makan siang, ia keluar lewat jendela dapur dan langsung berada di bawah pohon nangka di...

Read more
Tentang Suporter “Kampungan” di Transisi Sepakbola Modern
Esai

Tentang Suporter “Kampungan” di Transisi Sepakbola Modern

Gol tendangan geledek Ade Nene pada menit ke 93 masa injuri time, mengubah kedudukan menjadi 2-1 untuk keunggulan Perseftim (Flores...

Read more
Esai

Belajar dari Pramoedya

Filsuf berkebangsaan Perancis, Rene Descartes, mewariskan pemikirannya yang terkenal, cogito ergo sum: “saya berpikir, maka saya ada.” Apa maksudnya? Rene...

Read more
Di Hadapan Mesin ATM, Kecemasan Kita Berbeda
Esai

Di Hadapan Mesin ATM, Kecemasan Kita Berbeda

Gerai ATM memang bukan sekadar mesin uang. Ada tersimpan harapan sekaligus kecemasan di dalamnya. Keduanya berbeda dimensinya dalam diri setiap...

Read more
Instagram Facebook Youtube Twitter Pinterest

Alamat Kami

Pustaka Bambu

Dusun Epubele, Desa Horowura, Kecamatan Adonara Tengah, Kabupaten Flores Timur, NTT.
E-mail : pustakabambu@gmail.com

© 2022 - Komunitas Pustaka Bambu

No Result
View All Result
  • Home
  • Esai
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Liputan
    • Berita
    • Feature
  • Opini
  • Komunitas
  • Kontak Kami

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In